Konflik Pernikahan: Mengenal Spiral Konflik dan 5 Cara Bijak Menyelesaikannya

Daftar Isi

Konflik dalam Pernikahan: Bencana atau Berkah Tersembunyi?

Mau tidak mau, suka tidak suka, konflik telah menjadi bagian tak terpisahkan dari dinamika rumah tangga. Seperti dua sisi mata uang, konflik bisa menjadi ujian bagi ketahanan hubungan sekaligus peluang untuk tumbuh bersama. Namun tanpa penanganan tepat, api kecil perselisihan bisa membesar menjadi spiral konflik yang merusak - mulai dari sakit hati, dendam, hingga yang paling mengerikan: keterpisahan hubungan.

Fakta mengejutkan menunjukkan bahwa:

  • 69% masalah pernikahan bersumber dari konflik yang tidak terselesaikan (Research Gottman Institute)

  • Pola spiral konflik yang berulang menjadi penyebab utama perceraian

  • Kerusakan emosional akibat konflik bisa bertahan 5x lebih lama dari penyebab awalnya

Tapi inilah kabar baiknya: Konflik yang dikelola dengan benar justru bisa meningkatkan keintiman pasangan hingga 40%. Artikel ini akan mengupas tuntas:
✓ Anatomi spiral konflik dalam pernikahan
✓ 5 Dampak destruktif yang sering diabaikan pasangan
✓ Strategi praktis memutus rantai konflik negatif
✓ Cara mengubah gesekan menjadi kedekatan emosional

Persiapkan diri Anda untuk memahami seni bertengkar yang sehat - karena rumah tangga tanpa konflik bukanlah tujuan, tapi kemampuan menyelesaikannya dengan bijak yang membuat perbedaan abadi."

Spiral conflict itu memiliki cirri bahwa konflik itu semakin meningkat dan terus meningkat sehingga dalam setiap peningkatannya melahirkan konflik baru. Makanya kita sering mendengar bahwa si A dipukul oleh suaminya dalam pertengkaran rumah tangga mereka. Artinya, tentu saja konflik yang mereka alami bukan tiba-tiba terjadi bahwa sang suami tanpa ada angina, tak ada hujan tiba-tiba melemparkan bogem mentahnya kepada istrinya. Tidak! Tapi konflik itu merupakan akhir dari konflik-konflik kecil sebelumnya dan pada akhirnya pukulan itu datang.

Kekuatan sebuah dialog yang kita sebut sebagai sebuah komunikasi yang akan dibangun memang bisa memberikan jalan keluar dari konflik yang dihadapi. Hanya saja komunikasi yang akan dipakai adalah komunikasi yang memiliki niat untuk mencari titik temu persaoalan dan dengan semangat untuk menyelesaikan konflik yang sedang dihadapi. Harus diingat pula bahwa semangat menyelesaikan konflik itu harus pula dibarengi dengan niat untuk menyelesaikan persoalan dengan sungguh-sungguh selesai, dalam artian konflik tersebut tidak akan dijadikan senjata yang sewaktu-waktu bisa menjadi amunisi dalam konflik berikutnya.


Dalam hal ini keterbukaan dalam penyelesaian konflik tersebut menjadi sangat penting untuk dijadikan bekal. Keterbukaan itu meliputi perasaan-perasaan tidak enak ketika konflik terjadi harus dikubur dalam-dalam, jangan sampai ada sisa-sisa yang masih disimpan. 

Banyak persoalan yang kejadiannya sangat panjang hanya karena sulitnya masing-masing pihak untuk tidak terbuka, akibatnya berbagai tafsiaran sama-sama muncul. Bila masih ada benih kebencian sekecil apapun, itu akan menjadi bibit yang sewaktu-waktu bisa tumbuh, dan bibit kecil itu bisa menjalar dan bisa melahirkan bibit-bibit kebencian lain. Sekali lagi hal itu terjadi karena sulitnya masing-masing untuk bersikap terbuka.

Makanya dalam hal ini konflik tidak bisa hanya dilihat dari sisi negative saja, karena bisa jadi konflik itu juga menghasilkan sesuatu yang lain dari yang lain di dalam hubungan suami dan istri. Walaupun mungkin tidak cocok kalau kita jadikan contoh bagi konflik keluarga, namun kasus terjadinya konflik antara rasul Paulus dan Barnabas bagaimana akhirnya setelah mereka mengalami konflik, di kemudian hari keduanya benar-benar saling mengerti, saling menghargai, dan saling mengakui. 

Lihat saja bagaimana rasul Paulus menyebutkan bahwa Barnabas itu adalah kawan pelayanan (1 Korintus 9:6) sebuah pengakuan yang tidak mungkin dilontarkan oleh mereka yang dalam kondisi saling membenci. Bagian lain, bagaimana rasul Paulus akhirnya menyadari bahwa Markus yang sebelumnya menajdi pemicu terjadinya konflik rasul Paulus dan Barnabas dimana rasul Paulus mengatakan, “Salam kepada kamu dari Aristarkhus, temanku sepenjara dan dari Markus, kemenakan Barnabas -- tentang dia kamu telah menerima pesan; terimalah dia, apabila dia datang kepadamu” (Kolose 4:10).

Sebenarnya suami dan istri bisa merasakan “manfaat” konflik itu sejauh keduanya berhasil mengadakan komunikasi yang konstruktif (komunikasi yang membangun, bukan komunikasi yang merusak). Karena dalam komunikasi semacam itu komunikasi yang dibangun adalah komunikasi yang bertujuan untuk memecahkan persoalan, bukan mencari siapa yang bersalah. Dan komunikasi model ini sebenarnya sudah dijelaskan oleh rasul Paulus dalam 1 Korintus 13 yang dirangkum dalam satu kata komunikasi yang mndasarkannya kepada KASIH.

Bagaimana penjabarannya? Kalau dalam komunikasi itu yang digunakan adalah menggunakan sikap murah hati, tidak cemburu, tidak memegahkan diri, tidak sombong, tidak melakukan yang tidak sopan, tidak mencari keuntungan diri sendiri, tidak pemarah, tidak menyimpan kesalahan orang lain, tidak bersukacita karena ketidak adialn, tetapi karena kebenaran. Menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Sekarang tinggal bagaimana kita mengambil sikap yang sudah dijabarkan di atas di dalam berkomunikasi, supaya konflik bisa menghasilkan sesuatu yang positif di dalam hubungan kita dengan pasangan kita!
Nur Wadik

Posting Komentar