Pandangan Pertama vs. Realita Pernikahan: Mengapa Kesan Awal Tak Cukup?
Kita
sering terpesona oleh pandangan pertama—wajah yang menawan, senyum yang
memikat, atau penampilan yang rapi. Tapi benarkah kesan awal ini bisa
menjadi modal untuk membangun rumah tangga yang langgeng? Faktanya, apa yang terlihat di permukaan jarang mencerminkan keseluruhan kisah.
Bayangkan melihat pasangan Anda tanpa makeup, rambut acak-acakan, atau belum sikat gigi di pagi hari.
Jika Anda tetap tertarik padanya dalam keadaan paling "apa adanya",
mungkin pandangan pertama Anda memang jujur. Tapi kebanyakan dari kita
jatuh cinta pada versi terbaik pasangan—saat mereka sedang siap dilihat dunia, ibarat melihat sebutir telur yang mulus dari luar tanpa tahu isinya.
Mengapa pandangan pertama sering menipu?
Kesan awal dibentuk oleh penampilan fisik, bukan karakter sejati.
Perilaku di awal hubungan cenderung "dipercantik" untuk membuat kesan baik.
Kecocokan jangka panjang butuh lebih dari sekadar ketertarikan visual.
Menurut penelitian Psychological Science:
Lalu, bagaimana membangun rumah tangga yang kuat?
Artikel ini akan mengupas:
✓ Bahaya menjadikan pandangan pertama sebagai patokan
✓ Cara mengenal pasangan lebih dalam sebelum menikah
✓ Tanda-tanda pasangan siap menghadapi realita pernikahan
✓ Kisah nyata pasangan yang bertahan meski awalnya tak saling tertarik
"Cinta sejati bukan tentang mencintai kesempurnaan, tetapi tentang menerima ketidaksempurnaan dengan sepenuh hati."
Dengan
pemahaman ini, Anda bisa membangun hubungan yang lebih realistis dan
siap menghadapi dinamika pernikahan yang sesungguhnya.
Kesan dan pandangan pertama tidak bisa dijadikan modal satu-satunya untuk membangun sebuah rumah tangga, sebab apa yang tampak pada awal-awalnya itu bukanlah itu terus yang akan ditampilkan pada sepanjang pernikahan. Kecuali Anda sedang melihat pasangan Anda pertama kalinya ketika dia sedang bangun tidur, ketika sedang rambutnya acak-acakan, ketika belum sikat gigi atau cuci muka ketika ia tampil apa adanya.
Kalau memang Anda tertarik ketika pasangan Anda dalam posisi tidak siap untuk dilihat orang, dan Anda tertarik kepadanya maka pandangan pertama Anda adalah bisa untuk menjadi modal dalam masuk ke dalam rumah tangga. Tapi kenyataannya kita tertarik kepada pasangan kita untuk pertama kalinya adalah karena pasangan kita itu telah siap untuk dilihat orang.
Ibaratnya kita melihat sebutir telur, maka pandangan pertama kita terhadap calon pasangan atau pasangan kita itu hanya melihat kulit luarnya saja.
Yah, dunia kita memang dipenuhi dengan penonjolan kulit luar. Dan banyak dari kita menjadikan pandangan pertama menjadi segala-galanya. Namun dalam sebuah pernikahan, tampilan luar bukan segala-galanya. Mengapa? Karena di dalam pernikahan nantinya hampir semuanya kelihatan terbuka.
Kita ingat ketika kita pacaran, kita ingin menunjukkan semua kecantikan, kegagahan, kehebatan yang kita miliki untuk kita tunjukkan dengan sebuah pesan, akulah yang cocok untuk Anda.
Tentu saja kita kalau bisa tidak perlu menunjukkan kekurangan, dan kecacatan kita di hadapan calon kita. Sifat dan imeg yang ingin kita bangun dan ingin ditunjukkan kepada calon kita adalah yang terbaik. Dan kita ingin tampil sempurna.
Kalau kita mau umpamakan ketika laki-laki dan perempuan akan memasuki sebuah rumah tangga yang diikat oleh tali perkawinan, maka kita sebernya seperti masuk ke sebuah sekolah keluarga. Seperti lazimnya orang masuk sekolah, apalagi memasuki kepada sebuah disiplin ilmu tertentu, seperti computer, fisika, kimia dan seterusnya, tentu semakin kita mendalaminya, maka semakin kita ahli di dalamnya. Kita akan semakin banyak tahu mengenai ilmu yang sedang kita geluti itu.
Di dalam pernikahan, kita masuk ke sebuah sekolah keluarga di man adi sana kita berlajar banyak ilmu pengetahuan seperti komunikasi, kepemimpinan, ekonomi seks, dll. Yang menjadi dosen siapa? Pasangan kita. Di sana kita diasah, diasuh, diarahkan melalui berbagai tempaan yang bisa jadi menyakitkan, mengecewakan dan bahkan menakutkan.
Tapi percayalah bahwa bagi kita yang bertahan di dalam tempaan sekolah keluarga itu, maka kita akan menikmati kebahagiaan. Keberhasilan itu tentu saja disebabkan oleh adanya ketekunan untuk saling memberi dan menerima antara murid dan gurunya.
Kalau begitu siapa yang menjadi guru dan siapa yang menjadi murid? Ada kalanya sang suami mengambil peran menjadi guru, dan sang istri menjadi muridnya. Tapi di lain waktu sang istri mengambil peran menjadi guru dan sang suami menjadi muridnya.
Tetapi kuncinya adalah masing-masing pasangan bisa menyadari perannya masing-masing. Jangan mengambil peran guru ketika pasngan kita sedang menjadi guru karena kalau guru mengajar guru yang selevel, maka hal itu akan menjadi persoalan.
Lebih dari itu apa yang disampaikan oleh rasul Paulus dalam Efesus 5:22-27 sangat tepat untuk mengerti peran kita,
"Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu. Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya untuk menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman, supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat di hadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu, tetapi supaya jemaat kudus dan tidak bercela."
Posting Komentar
Karena saya percaya pengalaman Anda adalah berharga bagi keluarga lainnya.