Pasangan William Pottinger dan Gillian

Daftar Isi


Pada tanggal 31 Maret 2008, Harian Kompas dalam kolom Kilasan Kawat Dunia memuat artikel tentang keluarga William Pottinger (71) dan istrinya Gillian (61). Artikel itu menjelaskan bahwa William Pottinger telah mengabaikan istrinya dengan menyekapnya di rumah sejak tahun 2003. 

Akibat penyekapan itu, Gillian meninggal karena kekurangan makanan. Untuk perbuatannya tersebut, William Pottinger dihukum 18 tahun penjara oleh Pengadilan Reading Crown, London, Inggris.

Di akhir artikel tersebut dijelaskan bahwa William Pottinger yang tadinya terpikat oleh Gillian, kini istrinya itu hanya menjadi beban setelah mengalami gangguan mental sehingga wanita tersebut tidak bisa mengurus dirinya sendiri. Penutup artikel tersebut menjelaskan bahwa William Pottinger sudah tidak setia dengan janji perkawinan mereka, yakni “tetap setia bersama pada keadaan untung dan malang.”

Membaca artikel itu, kita mungkin merasa sedih karena kekejaman seorang suami yang tidak hanya meninggalkan istrinya yang dulu mungkin sangat dicintai, tetapi juga ketika istri tersebut tidak lagi dapat memberikan kebahagiaan atau kesenangan. Kita mungkin memiliki keluarga yang hebat saat ini. Istri kita mungkin membuat kita bahagia, atau suami kita mungkin memberikan kegembiraan dalam hidup kita.

Namun, bagaimana jika situasinya berubah, di mana pasangan kita tidak lagi dapat memberikan apa pun kepada kita, apakah kita masih akan setia kepada mereka? Dalam kehidupan nyata, seringkali ada pasangan yang tidak mengalami situasi ekstrem seperti William Pottinger dan Gillian, di mana salah satu pasangan tidak lagi dapat berfungsi sebagai suami atau istri. Namun, hanya karena masalah kecil, mereka dengan mudah memutuskan untuk mengakhiri pernikahan atau bercerai.

Hanya karena tidak memiliki anak, bukan berarti mudah untuk berpisah. Pernikahan seharusnya dilihat sebagai komitmen serius, bukan sekadar sumber kesenangan yang mudah goyah. Janji yang kita ucapkan di depan jemaat, dan pada hakikatnya di hadapan Tuhan, tidak mengandung syarat tertentu.

Kalimat yang kita ucapkan bukanlah, "Saya akan setia selama pasangan saya sehat, menyenangkan, dan membahagiakan saya." Sebaliknya, kita dengan berani menyatakan bahwa kita akan setia baik dalam suka maupun duka. Jika kita hanya berani berkomitmen saat diwajibkan oleh aturan, maka sebaiknya kita pertimbangkan kembali keputusan untuk menikah, dan memastikan apakah kita benar-benar siap untuk berkomitmen.

Bagi mereka yang telah menikah, mempertahankan komitmen adalah esensial. Seperti yang diungkapkan oleh David Nicholson, Ph.D., dalam bukunya "Yang Perlu Anda Ketahui Sebelum Anda Jatuh Cinta - Lembaga Literatur Baptis," pernikahan yang dibangun oleh Tuhan mengharuskan pasangan untuk bersama-sama mengatasi masalah yang dapat mengganggu kebahagiaan pernikahan mereka. 

Tuhan Yesus mengajarkan bahwa tidak seharusnya ada perceraian dalam pernikahan Kristen, dengan berkata, "Barangsiapa menceraikan istrinya, kecuali karena zinah, membuat istrinya berzinah; dan barangsiapa menikahi perempuan yang diceraikan, berbuat zinah" (Matius 5:32). Ini menunjukkan betapa pentingnya kesetiaan dan komitmen dalam pernikahan.

Posting Komentar