Mengharapkan COVID-19 Kembali, Agar Ibadah di Rumah Bisa Lancar Tanpa Diganggu
Mengharapkan COVID-19 Kembali, Agar Ibadah di Rumah Bisa Lancar Tanpa Diganggu"
Pernahkah Anda merindukan masa lockdown COVID-19? Saat itu, semua orang dipaksa beribadah di rumah. Tak ada yang protes. Tak ada yang menggerebek. Tak ada yang bilang, "Ini pemurtadan!" atau "Ini ganggu ketertiban!"
Tapi sekarang, ketika seorang Kristen mengadakan kebaktian di rumah dengan 10 orang, tiba-tiba:
RT/RW datang: "Ini izinnya mana?"
Orang sekitar berbisik: "Awas, ada kristenisasi!"
Polisi diminta mediasi: "Ini bisa rusuh, lebih baik bubarkan saja."
Solusi Jenius: Kembalikan Saja COVID-19!
Jika negara tidak bisa menjamin kebebasan beribadah, mungkin kita perlu "bantuan" virus corona lagi. Dengan begitu:
Pemerintah akan memaksa semua ibadah dilakukan di rumah – tanpa diskriminasi.
Tidak ada lagi gereja rumah digerebek, karena semua orang takut keluar.
FKUB dan aparat akan sibuk urusan kesehatan, bukan urusan "mengawasi ibadah orang lain".
COVID-19: Pahlawan Tak Dikenang bagi Umat Beragama Minoritas
Dulu, saat PSBB, kita bisa ibadah tanpa rasa was-was. Sekarang? Lebih mudah dapat izin bangun kafe daripada izin gereja rumah.
Alternatif Lain Jika COVID Tidak Mau Comeback
Bikin aplikasi "IBADAH-AJA" – klaim ini startup digital, biar dapat pembiayaan venture capital, bukan masalah izin.
Sewa influencer agama buat live-streaming ibadah, biar disebut "kreatif" bukan "sesat".
Pasang spanduk "Acara Arisan", tapi dalamnya kebaktian. (Bisa juga pakai kode: "Tamu sedang makan roti dan anggur" = Perjamuan Kudus).
Penutup: Satir yang Menyedihkan
Kita hidup di negeri di mana:
Ibadah di rumah lebih aman saat ada virus mematikan daripada saat kondisi normal.
Hukum hanya berlaku jika menguntungkan suara terbanyak.
Negara lebih takut pada demo massa daripada putusan pengadilan.
Jadi, sambil menunggu COVID-19 versi baru, mari kita nikmati ironi kebebasan beragama ala Indonesia: "Diizinkan di atas kertas, dilarang di lapangan."
Bagaimana bentuk ibadah di rumah? Pertanyaan ini penulis ajukan kepada teman pendeta tadi untuk mengetahui bagaimana para pendeta menyikapi adanya himbauan ibadah di rumah. "Karena jemaat saya hanya 10 keluarga, jadi saya bagi 5 keluarga beribadah secara bergantian." Kalau demikian itu masih mengadakan pertemuan. Hanya katanya karena anggota dari keluarga yang dimaksud itu kecil jadi tidak sampai menimbulkan kumpulan orang. Jarak yang harus diperketat. Di sini sang gembala masih melakukan koordinasi aktif karena jemaatnya kecil.
Bagaimana dengan mereka yang besar, apakah gembala yang dimaksud pernah menanyakan kepada yang lain rekan sejawatnya? Sudah pernah bertanya, dan salah satunya adalah dengan cara online. Penulis berusaha untuk mengejar begini, bagaimana bias diterapkan kalua jemaatnya di desa-desa? Teman saya itu tertawa terbahak-bahak cukup lama. Mengapa? Karena jangankan untuk membeli data, membeli makan setiap hari saja harus diperhitungkan matang-matang. Itu bisa dilakukan di jemaat-jemaat yang ekonominya sudah tinggi. Kebutuhan makan nomor satu, kebutuhan komunikasi dan media sosial itu nomor sekian dan bahkan tidak pernah masuk hitungan.
Sebagai gembala memang kita tidak bisa melepas 100% jemaat untuk melakukan ibadah sendiri. Peranan gembala dan pendeta sangat besar supaya makna ibadah di rumah itu benar-benar berjalan dengan baik. Kembali kepada pendeta yang melayani di desa tadi, bahwa memang dirinya tetap mengadakan koordinasi, seperti dalam satu keluarga yang bear-benar tidak bisa mandiri untuk beribadah karena bagaimana caranya bisa dilakukan, maka gembala atau pendeta mengutus pekerja gereja untuk membimbing. Caranya beribadah seperti biasa, ada pujian, pembukaan, ada pembacaan Mazmur, ada firman Tuhan atau sekedar renungan, dan membaca firman Tuhan saja kemudian berdoa. Tapi kan tidak semua orang dalam sebuah keluarga bisa melakukan hal tersebut.
Sebagai penutup, jelas bahwa himbauan untuk ibadah di rumah menjadi tantangan sendiri bagi gereja supaya gereja mulai memikirkan bagaimana setiap keluarga dilatih untuk menciptakan dan meyediakan waktu khusus untuk beribadah mandiri Bersama keluarga. Kalau tidak, maka kita akan merasa kebingungan seperti kebanyakan orang seperti sekarang ini.
Posting Komentar
Karena saya percaya pengalaman Anda adalah berharga bagi keluarga lainnya.