Wanita Bekerja atau Menjadi Ibu Rumah Tangga?
Alasan mengapa wanita harus bekerja sangatlah beragam. Beberapa bekerja untuk mendukung suami dalam aspek ekonomi, sementara yang lain mungkin merasa lebih dihargai dalam pekerjaan daripada sebagai ibu rumah tangga. Menurut Alkitab, tidak ada larangan bagi wanita untuk bekerja; sebaliknya, banyak wanita dalam Alkitab yang digambarkan memiliki peran aktif dalam bekerja dan pelayanan.
Kita mengerti bahwa Allah menciptakan manusia dalam dua jenis kelamin, yaitu pria dan wanita. Keduanya tidak identik, masing-masing memiliki keunikan tersendiri. Tujuan penciptaan mereka bukan untuk berkompetisi, melainkan untuk saling melengkapi satu sama lain.
Baik pria maupun wanita sama-sama mencerminkan gambar Allah yang mulia dengan kesetaraan, tetapi dengan peran yang berbeda. Secara alami, pria dianggap sebagai pemimpin dan wanita sebagai pendamping. Ini tidak mengurangi pentingnya peran wanita, yang bukan sekadar pelengkap, dan juga tidak mengimplikasikan bahwa wanita lebih penting dari pria.
Ketika mendengar kata 'wanita', berbagai asosiasi muncul di benak kita, seperti kecantikan, kelembutan, kegemaran berdandan, sifat keibuan, sensitivitas, kemanjaan, dan peran sebagai pendamping pria. Namun, satu hal yang tak terbantahkan adalah bahwa kata 'wanita' sering kali mengingatkan kita pada sosok seorang ibu.
Memang benar, sebagian besar wanita akan mengambil peran sebagai ibu rumah tangga. Mereka mungkin menikah dan memiliki anak. Baik berkarir di luar atau tidak, ketika menikah, mereka akan memegang peran tersebut.
Wanita memegang peran ganda, baik di dalam rumah tangga maupun di luar. Dalam keluarga, peran wanita termasuk sebagai istri yang mendukung suaminya dan sebagai ibu yang merawat serta memenuhi kebutuhan fisik dan spiritual anak-anaknya.
Banyak wanita memiliki karier sebelum membangun rumah tangga. Khususnya di kota besar, mereka seringkali mengekspresikan eksistensi diri melalui karier profesional. Pendapatan pribadi yang diperoleh setiap bulan menjadi sumber kebanggaan dan identitas sebagai individu yang mandiri.
Namun, situasi ini seringkali bertentangan dengan peran lainnya ketika seorang wanita menikah, terlebih lagi bila telah memiliki anak. Biasanya, dalam kondisi seperti ini, wanita dihadapkan pada dua pilihan utama: berdedikasi sebagai istri dan ibu di rumah atau melanjutkan bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Beberapa alasan mengapa seorang ibu memilih untuk bekerja diantaranya adalah faktor ekonomi. Seorang wanita mungkin perlu bekerja karena kebutuhan finansial yang mendesak, tidak adanya suami, suami yang tidak bekerja, atau penghasilan suami yang tidak cukup untuk keperluan keluarga. Alasan lainnya adalah untuk prestise dan menjaga harga diri.
Banyak wanita berpendidikan tinggi dengan gelar sarjana yang telah memperoleh harga diri yang tidak mudah direndahkan oleh pria. Dengan bekerja, seorang wanita dapat menunjukkan kesetaraannya dengan pria, bahkan dapat melebihi mereka.
Di berbagai belahan dunia, 'wanita ideal' sering digambarkan sebagai wanita yang berhasil dalam karirnya, memiliki gaji yang tinggi, tampil sempurna, dan penuh percaya diri. Bahkan setelah pulang ke rumah, ia masih mampu mengurus dan menyelesaikan masalah keluarga.
Namun, hanya sedikit wanita yang dapat memenuhi gambaran ideal tersebut. Alasan lain yang mendorong wanita untuk bekerja adalah untuk mengatasi kejenuhan. Banyak ibu rumah tangga yang tidak bisa tinggal diam dan selalu ingin aktif. Menghabiskan waktu di rumah sepanjang hari dapat menimbulkan rasa bosan, jenuh, dan stres yang berat.
Bayangkan seorang wanita eksekutif yang biasa membawa handphone, memimpin rapat, dan mengelola puluhan atau bahkan ratusan karyawan, tiba-tiba beralih hanya untuk melakukan pekerjaan rumah tangga dan merawat anak. Perubahan ini bisa menimbulkan rasa jenuh bagi beberapa orang.
Banyak wanita dihadapkan pada dilema antara kebutuhan untuk mencari penghasilan dan keinginan mengurus keluarga serta rumah tangga mereka. Ada anggapan bahwa menjadi ibu rumah tangga penuh waktu kurang terhormat, dengan stereotip seperti hanya mengenakan daster, tidak sosial, dan jarang meninggalkan rumah. Namun, pandangan ini sangat keliru.
Menjadi ibu rumah tangga full-time bukan berarti kekurangan pekerjaan, melainkan karena tugas-tugas berat sebagai pendidik dan pengelola rumah tangga yang mengharuskan kita berada di rumah secara penuh waktu. Meskipun tidak mudah, kita harus menghadapinya dengan motivasi yang kuat untuk menjalankan tanggung jawab yang diberikan Tuhan sebagai ibu rumah tangga.
Intinya, semuanya tergantung pada individu. Sebagai orang tua Kristen, kita perlu memiliki visi yang terarah pada keabadian, tidak hanya terbatas pada waktu sementara. Kita bertanggung jawab atas iman kita tidak hanya dalam relasi pribadi dengan Tuhan, tetapi juga dalam peran kita sebagai pendidik yang Tuhan percayakan. Tuhan telah memberikan talenta kepada kita semua. Talenta tidak hanya sekedar bakat, melainkan 'segala sesuatu' yang Tuhan amanahkan kepada kita untuk dikembangkan, termasuk dalam melayani dan mendidik anak-anak.
Jangan ragu untuk meninggalkan pekerjaan demi anak, karena bagi Tuhan, anak lebih berharga daripada prestasi kerja. Inti masalahnya bukan pada bekerja atau tidak bekerja; kita semua perlu bekerja. Masalahnya adalah apakah kita rela menyerahkan pengasuhan anak kepada orang lain demi karier yang sebenarnya tidak esensial.
Apakah pekerjaan kita bisa menghambat perkembangan emosional dan spiritual anak-anak kita? Sangat keliru jika kita menganggap bahwa anak-anak adalah penghalang bagi masa depan kita. Anak-anak adalah masa depan kita.
Apa yang terbaik yang kita tanam pada anak-anak akan berbuah di masa depan. Setiap wanita atau pasangan memiliki hak untuk membuat keputusan mereka sendiri dalam kehidupan keluarga tanpa penilaian dari orang lain.
Kita berada di era digital yang menguntungkan, di mana peluang bisnis terbuka untuk semua orang, termasuk para wanita. Bisnis tersebut bahkan dapat dijalankan dari rumah, memungkinkan kita untuk tetap bertanggung jawab dalam mengurus keluarga.
Namun, prinsip yang harus dipegang adalah bahwa setiap keputusan yang dibuat perlu dipertimbangkan dengan matang, sesuai dengan iman dan tanggung jawab kita sebagai pengikut Kristus. Kita juga harus selalu mengingat bahwa tidak ada yang lebih memuaskan daripada menghabiskan waktu sebanyak mungkin untuk merawat dan mendidik anak-anak kita menurut ajaran Tuhan, seperti yang tertulis dalam Ulangan 6:7.
Artikel ditulis oleh Monika Oedjoe untuk program Radio Wanita untuk Wanita
Posting Komentar
Karena saya percaya pengalaman Anda adalah berharga bagi keluarga lainnya.