Mendudukkan Budaya Sungkan pada Tempatnya
Di Indonesia khususnya di Jawa terdapat suatu istilah yang diekspresikan oleh hampir keseluruhan orang jawa yaitu “sungkan”. Secara arti kata, sungkan tidak memiliki arti yang pasti, tetapi ada beberapa kata yang dirasa mirip dan sedikit memiliki kesamaan dengan arti kata sungkan seperti malu, segan, hormat. Sungkan adalah emosi yang khas dari adat Jawa.
Bisa dikatakan demikian karena dalam berbagai hal, sungkan merupakan salah satu bentuk emosi yang berbeda dan tidak sama dengan budaya lain yang terdiri dari berbagai rasa yang hanya dimiliki oleh orang Jawa.
Supaya lebih nyata mungkin dua kejadian ini bisa menjadikan jelas mengenai sungkan ini. ada sebuah cerita suatu hari di sebuah perumahan ada seorang tetangga yang memasang musik keras-keras dan itu sangat mengganggu sekali, tetapi tidak ada seorangpun yang berani menegur karena merasa sungkan sebab pemilik rumah tersebut adalah orang yang kaya dan terpandang di daerah tersebut.
Ada lagi di sebuah perusahaan, seorang staf di bagian keuangan yang ikut saja diajak temannya untuk berbuat curang dengan memberikan laporan palsu dengan menaikkan harga barang dari yang sesungguhnya hanya karena sungkan dan takut dianggap sok suci. Dari dua cerita di atas, ada kesamaannya yaitu sama-sama melakukan hal yang negatif hanya karena rasa “sungkan”.
Sungkan merupakan rasa segan, tidak enak, juga rasa hormat
terhadap orang lain tentang suatu keinginan dari dalam diri. Sungkan juga
mencegah orang melakukan perbuatan yang tidak layak dilakukan. Jadi kalau
dilihat dari awal mula dan arti sesungguhnya, seharusnya sungkan ini bersifat
positif ya sahabat wanita.
Tapi dewasa ini “sungkan” kurang dipahami maksud dan tujuannya serta arti sebenar-benarnya dalam hidup remaja dalam hidup remaja atau orang sekarang. Sungkan hanya dijadikan alasan yang kurang jelas dalam melakukan berbagai hal termasuk mengenai alasan orang dalam melakukan sesuatu. Seperti alasan orang tidak mau melakukan suatu perbuatan juga dengan mudahnya menjadikan kata sungkan sebagai alasan utama. S
Sebagian besar orang tidak sadar telah mengikuti budaya sungkan
ini. Bagaimana kalau kita sungkan untuk hal yang buruk? Sungkan kalau menolak
ikut-ikutan dugem karena yang mengajak teman dekat kita. Sungkan kalau tidak
ikut melakukan kecurangan dalam pekerjaan takut dianggap sok suci. Sungkan
kalau menegur teman kita yang salah karena nanti dia marah kepada kita. Sungkan
saat tidak memenuhi permintaan anak karena takut dianggap tidak sayang.
Rasa sungkan ini membuat kita tidak bisa jadi diri sendiri karena selalu melakukan apa yang orang lain inginkan meskipun itu adalah hal yang salah. Rasa sungkan itu memang terkadang perlu karena faktor etika tapi jangan sampai rasa sungkan kita berdampak negatif. Akan jauh lebih baik kalau kita punya rasa sungkan yang positif. Sungkan kalau kita bersantai sedangkan rekan kerja kita yang lain sangat sibuk. Sungkan pada atasan kalau kita bermalas-malasan saat atasn kita sedang tidak ada. Dan juga kita merasa sungkan pada Tuhan kalau kita melakukan dosa dan membuatNya sedih.
Rasa sungkan bisa berdampak hal yang baik juga
buruk. Karena itu kita harus tahu kapan saatnya untuk sungkan dan kapan harus
berkata tegas. Hidup di dunia bukan hanya kita bisa mendapatkan berbagai hal
dari orang lain dan lingkungan kita, tetapi juga bagaimana kita dapat berarti
dan menjadi berkat bagi orang lain. Tidak perlu kita menjadi sungkan hanya
karena status dan harta, karena tidak ada manusia yang sempurna, kesempurnaan
hanya milik Tuhan.
Sebagian besar dari kita pasti tidak asing lagi dengan pepatah kuno yang berbunyi “diam itu emas”. Diam pada umumnya memang dimaksudkan dengan tidak berbicara. Diam memang terkadang merupakan sikap yang bijak daripada kecenderungan manusia untuk berkata-kata negatif.
Tetapi diam adalah pilihan yang kurang tepat disaat
kita harus menyatakan kebenaran. Menyatakan kebenaran memang mudah dipikirkan,
direnungkan tetapi kadang sulit untuk dikatakan dan dilakukan. Banyak alasan
yang menyebabkan kita lebih suka diam. Mungkin kita merasa segan dan sungkan
dengan orang yang lebih tua, kaya, sukses bahkan melebihi perasaan segan dan sungkan
kita kepada Tuhan.
Firman Tuhan dalam Wahyu 3:16 mengatakan “Jadi karena engkau suam-suam kuku, tidak dingin atau panas, Aku akan memuntahkan engkau dari mulutKu”. Wah itu adalah teguran Tuhan yang sangat keras dan kita tidak ingin hal itu terjadi pada kita bukan? Tetapi bukankah banyak juga kita orang Kristen yang kondisinya suam-suam kuku?
Ibadah
memang rajin tetapi tetap saja berkompromi dengan dosa. Terkadang memang sulit
sekali berkata tidak terhadap dunia ini. Apalagi dalam budaya timur seringkali
kita merasa sungkan dan sulit sekali menolak ajakan orang lain yang kita tahu
ajakan tersebut menyimpang dari kebenaran. Atau juga rajin beribadah karena
sungkan dengan pendeta, teman dan orang tua.
Sebagai anak-anak Tuhan, kita harus bersikap tegas dan memiliki keberanian untuk berkata tidak pada hal-hal yang menyimpang dari firman Tuhan. Jangan kompromi pada budaya sungkan bila hal itu justru menjerumuskan kita pada dosa. Bagaimana pilihan sikap kita?
Berani bersikap tegas atau malah sebaliknya, kita tidak
berdaya dan gampang berkata ya meski kita tahu bahwa itu perbuatan dosa? Mana
yang harus kita pilih, takut kepada manusia atau Tuhan? Sungkan kepada manusia
atau kepada Tuhan?
Artikel ditulis oleh Monika Oedjoe untuk program Radio Wanita untuk Wanita
Posting Komentar
Karena saya percaya pengalaman Anda adalah berharga bagi keluarga lainnya.