Berkomunikasi dengan Anak: Pemaksaan VS Dialog?
Tanpa menyelami situasi dan kondisi anak-anak kita dengan baik, bisa saja pola yang kita gunakan untuk berkomunikasi dengan mereka adalah pemaksaan atau dialog. Tergantung pengalaman dan informasi yang kita dapatkan sebelumnya dalam membuka komunikasi dengan anak.
Termasuk ketika kita mendukung dan menghantar anak-anak kita menuju cita-cita yang dimilikinya. Bisa saja cita-cita anak-anak kita rebut menjadi cita-cita dan keinginan kita sebagai orang tua dan tidak memberikan pilihan kepada anak untuk menentukan sesuai dengan minat dan bakatnya.
Setiap orang tua tentu memiliki harapan dan tujuan untuk anak-anak mereka. Tujuan ini bisa terbentuk dari pengalaman hidup orang lain, lingkungan sekitar, media sosial, dan berbagai sumber informasi lainnya.
Misalnya, seorang orang tua
mungkin berharap anaknya bisa seperti Si C yang kini menjadi anak yang luar
biasa, Si B yang menjadi remaja aktif dan sering meraih juara, Si D yang
berhasil masuk sekolah favorit, atau Si M yang mengesankan karena bekerja di perusahaan
besar. Semua aspirasi ini diproses oleh orang tua dengan harapan bahwa suatu
hari nanti anak mereka akan menjadi individu yang sukses.
Tidak ada yang salah dengan
semuanya. Namun, setiap anak memiliki keunikan tersendiri. Bahkan anak-anak
yang lahir dari rahim yang sama dan dari orang tua yang sama tidak bisa
dijadikan ukuran bagi anak lainnya, meskipun mereka bersaudara. Untuk mencapai
tujuan tersebut, kita sebagai orang tua sering kali menggunakan pola yang sama
dalam mendidik, berkomunikasi, dan memperlakukan satu anak dengan yang lainnya.
Ada anak yang cukup
diberitahu sekali saja, dia akan langsung mendengar dan melaksanakan apa yang
dikatakan. Sementara anak yang lain, bila diberitahu dengan nada keras sedikit
saja, sudah menangis. Namun ada juga yang, meskipun diberitahu dengan keras berkali-kali,
dia tetap santai saja. Oleh karena itu, kita memerlukan pendekatan yang berbeda
untuk setiap anak agar mereka mau mendengarkan. Perbedaan sifat, sikap, dan
respons setiap anak sebenarnya mengajarkan kepada kita bahwa pola pendidikan
yang kita terapkan pada setiap anak seharusnya disesuaikan dengan sifat dan
sikap masing-masing anak itu sendiri.
Menjadi masalah apabila kita
menerapkan pola pemaksaan pada anak dengan asumsi bahwa tujuan kita adalah
baik. Masalahnya, jika orang tua memaksakan pola pendidikan dan prinsip-prinsip
tertentu dengan harapan anak akan mengikuti semua cita-cita dan keinginan kita
sebagai orang, hal ini dapat menimbulkan konsekuensi. Anak mungkin akan patuh,
namun di balik ketaatan tersebut, jika tidak sesuai dengan keinginan anak,
dapat menumbuhkan rasa kesal, sakit hati, dan beban emosional yang dipendam.
Sebagai orang tua, kita harus
menghindari memproyeksikan aspirasi kita pada anak-anak. Saya yakin tidak ada
orang tua yang mengharapkan masa depan yang tidak cerah untuk anak mereka.
Namun, bila aspirasi tersebut bertentangan dengan keinginan anak itu sendiri,
kita pada dasarnya telah membebankan mereka dengan tekanan. Dan bila ini
terjadi, niat kita untuk membahagiakan anak-anak malah bisa berakhir dengan
menyebabkan penderitaan bagi mereka.
Posting Komentar
Karena saya percaya pengalaman Anda adalah berharga bagi keluarga lainnya.