Berkomunikasi dengan Anak: Pemaksaan VS Dialog?

Daftar Isi


Mengerti dengan mengenali anak-anak kita dengan benar dapat menolong orang tua untuk membuat pola komunikasi apa yang akan digunakan.

Tanpa menyelami situasi dan kondisi anak-anak kita dengan baik, bisa saja pola yang kita gunakan untuk berkomunikasi dengan mereka adalah pemaksaan atau dialog. Tergantung pengalaman dan informasi yang kita dapatkan sebelumnya dalam membuka komunikasi dengan anak.

Termasuk ketika kita mendukung dan menghantar anak-anak kita menuju cita-cita yang dimilikinya. Bisa saja cita-cita anak-anak kita rebut menjadi cita-cita dan keinginan kita sebagai orang tua dan tidak memberikan pilihan kepada anak untuk menentukan sesuai dengan minat dan bakatnya.

Setiap orang tua tentu memiliki harapan dan tujuan untuk anak-anak mereka. Tujuan ini bisa terbentuk dari pengalaman hidup orang lain, lingkungan sekitar, media sosial, dan berbagai sumber informasi lainnya.

Misalnya, seorang orang tua mungkin berharap anaknya bisa seperti Si C yang kini menjadi anak yang luar biasa, Si B yang menjadi remaja aktif dan sering meraih juara, Si D yang berhasil masuk sekolah favorit, atau Si M yang mengesankan karena bekerja di perusahaan besar. Semua aspirasi ini diproses oleh orang tua dengan harapan bahwa suatu hari nanti anak mereka akan menjadi individu yang sukses.

Tidak ada yang salah dengan semuanya. Namun, setiap anak memiliki keunikan tersendiri. Bahkan anak-anak yang lahir dari rahim yang sama dan dari orang tua yang sama tidak bisa dijadikan ukuran bagi anak lainnya, meskipun mereka bersaudara. Untuk mencapai tujuan tersebut, kita sebagai orang tua sering kali menggunakan pola yang sama dalam mendidik, berkomunikasi, dan memperlakukan satu anak dengan yang lainnya.

Ada anak yang cukup diberitahu sekali saja, dia akan langsung mendengar dan melaksanakan apa yang dikatakan. Sementara anak yang lain, bila diberitahu dengan nada keras sedikit saja, sudah menangis. Namun ada juga yang, meskipun diberitahu dengan keras berkali-kali, dia tetap santai saja. Oleh karena itu, kita memerlukan pendekatan yang berbeda untuk setiap anak agar mereka mau mendengarkan. Perbedaan sifat, sikap, dan respons setiap anak sebenarnya mengajarkan kepada kita bahwa pola pendidikan yang kita terapkan pada setiap anak seharusnya disesuaikan dengan sifat dan sikap masing-masing anak itu sendiri.

Menjadi masalah apabila kita menerapkan pola pemaksaan pada anak dengan asumsi bahwa tujuan kita adalah baik. Masalahnya, jika orang tua memaksakan pola pendidikan dan prinsip-prinsip tertentu dengan harapan anak akan mengikuti semua cita-cita dan keinginan kita sebagai orang, hal ini dapat menimbulkan konsekuensi. Anak mungkin akan patuh, namun di balik ketaatan tersebut, jika tidak sesuai dengan keinginan anak, dapat menumbuhkan rasa kesal, sakit hati, dan beban emosional yang dipendam.

Sebagai orang tua, kita harus menghindari memproyeksikan aspirasi kita pada anak-anak. Saya yakin tidak ada orang tua yang mengharapkan masa depan yang tidak cerah untuk anak mereka. Namun, bila aspirasi tersebut bertentangan dengan keinginan anak itu sendiri, kita pada dasarnya telah membebankan mereka dengan tekanan. Dan bila ini terjadi, niat kita untuk membahagiakan anak-anak malah bisa berakhir dengan menyebabkan penderitaan bagi mereka.

Sebagai orang tua, langkah apa yang perlu kita ambil? Kita harus mengenali kebiasaan, keinginan, cita-cita, kesenangan, dan kelebihan anak kita sejak dini. Untuk itu, kita perlu berdialog dengan anak-anak kita dan memahami apa yang mereka inginkan. Setelah itu, kita harus memberikan dukungan kepada mereka, walaupun mungkin berbeda dari apa yang kita harapkan. Ingat bahwa dengan pemaksaan akan menghasilkan tekanan, dengan dialog akan menghasilkan kesepakatan. 

Posting Komentar