Ketika Pasangan Suka Mengomel, dan Kita Terlalu Pendiam, Bagaimana Menyeimbangkannya?

Daftar Isi


Pernahkah kamu merasa jengah karena pasanganmu suka mengomel? Atau sebaliknya, kamu justru yang sering diam, lalu dicap cuek atau tidak peduli? Tenang, kamu tidak sendiri. Dinamika ini umum terjadi dalam banyak hubungan. Hari ini, kita akan ngobrol santai tapi dalam tentang ketidakseimbangan komunikasi dalam hubungan, khususnya antara pasangan yang cerewet dan pasangan yang pendiam.

Mengomel sering kali dianggap sebagai bentuk keluhan atau bahkan serangan. Tapi, menurut para ahli hubungan, seperti John Gottman dan Sue Johnson, mengomel itu sering kali bukan sekadar "cerewet". Ia adalah bentuk komunikasi emosi. Biasanya, ada kebutuhan emosional yang belum terpenuhi di baliknya, entah merasa diabaikan, tidak didengar, atau merasa sendirian dalam mengelola urusan rumah tangga atau hubungan.

Sayangnya, ketika yang satu mengomel, dan yang satu lagi justru diam seribu bahasa, hubungan pun jadi buntu. Yang cerewet merasa tidak dihargai, yang pendiam merasa diserang. Akhirnya, keduanya saling menjauh secara emosional.


Tapi, mengapa pasangan kita bisa jadi suka mengomel?

Banyak orang mengomel bukan karena ingin bertengkar, tapi karena ingin didengar. Ini penting kita pahami. Dalam dunia psikologi, ini disebut sebagai bentuk protes terhadap keterikatan. Artinya, saat seseorang merasa hubungan emosionalnya renggang, mereka akan mencoba menarik perhatian pasangannya dengan berbagai cara—salah satunya ya, dengan mengomel.

Contohnya begini:

“Kenapa sih kamu selalu main HP, nggak pernah bantuin di rumah?”

Tapi sebenarnya yang ingin dia katakan adalah:

“Aku capek, aku ingin kamu hadir dan peduli.”

Namun cara menyampaikannya sering tidak efektif, bahkan membuat pasangan merasa disalahkan.

Nah, lalu bagaimana dengan pasangan yang terlalu diam?

Diam bisa berarti banyak hal. Bisa karena tidak tahu harus bicara apa. Bisa karena takut konflik. Atau memang sejak kecil diajari bahwa emosi lebih baik dipendam.

Masalahnya, diam terlalu lama membuat pasangan merasa sendirian. Hubungan yang sehat butuh dua arah komunikasi. Bukan berarti harus jadi banyak bicara, tapi ada keterbukaan, ada tanggapan, ada ruang untuk saling mengerti.

Menurut para pakar, seperti Harville Hendrix dan Sue Johnson, hubungan seperti ini sering disebut sebagai dinamika "pursuer-distancer".

Satu pihak terus mengejar komunikasi, sementara pihak lain justru menghindar. Jika dibiarkan, hubungan bisa jadi penuh luka: yang satu merasa ditolak, yang lain merasa tertekan.

Lalu, bagaimana menyeimbangkan dua kutub ini?


Berikut beberapa langkah yang bisa kita praktikkan:

1. Belajar memahami makna di balik sikap pasangan.

Saat pasangan mengomel, jangan buru-buru tersinggung. Tanyakan: Apa yang sebenarnya ia ingin sampaikan?

Begitu juga sebaliknya—jika pasangan diam, jangan langsung menghakimi sebagai acuh. Mungkin ia butuh waktu atau ruang untuk memproses.

2. Ubah omelan menjadi permintaan yang jelas dan lembut.

Misalnya, dari “Kamu tuh nggak pernah bantuin!” menjadi:

“Aku merasa kewalahan hari ini. Aku butuh bantuanmu untuk cuci piring, ya.”

3. Buat ruang aman untuk komunikasi.

Jangan bicara saat emosi meledak. Jadwalkan waktu khusus, di saat tenang. Misalnya, setiap malam selama 10 menit, saling cerita tentang apa yang dirasakan hari itu. Ini sederhana, tapi efeknya luar biasa.

4. Latih keberanian untuk terbuka, meski singkat.

Bagi pasangan yang pendiam, mulailah dengan satu kalimat jujur:

“Aku nggak tahu harus ngomong apa, tapi aku dengerin kamu.”

Itu saja sudah bisa meluluhkan hati pasanganmu, lho.

5. Validasi perasaan masing-masing.

Sering kali kita tidak butuh solusi, hanya ingin didengar. Cukup katakan:

“Aku paham kamu capek.” atau “Aku ngerti kamu butuh waktu sendiri.”

6. Kalau perlu, cari bantuan profesional.

Konselor atau terapis pasangan bisa membantu membongkar pola komunikasi yang buntu dan membimbing kita menemukan cara yang lebih sehat.


Kesimpulan

Mengomel bukanlah musuh. Diam pun bukan sebuah kesalahan. Keduanya adalah ekspresi. Yang penting adalah bagaimana kita berdua belajar menerjemahkannya dan menjadikannya jembatan untuk saling terhubung, bukan jurang untuk saling menjauh.

Hubungan yang sehat bukan soal siapa yang lebih banyak bicara atau lebih sedikit mengeluh, tapi soal apakah kita bisa saling hadir, mendengar, dan merespons dengan kasih dan rasa hormat.

Posting Komentar