Tetangga Adalah Saudara yang Paling Dekat

Daftar Isi


Pernahkah Anda mendengar ungkapan ini: “Tetangga adalah saudara yang paling dekat?” Kalimat itu terdengar sederhana, tapi kalau kita renungkan kalimat ini menyimpan makna yang dalam. Ia mengandung filosofi hidup yang sangat bernilai tapi juga sekaligus ironi untuk zaman ini.

Terkadang saya merindukan masa-masa lalu, ketika hidup bertumpu pada kebersamaan, tetangga bukan hanya orang yang tinggal di sebelah rumah, tapi mereka juga menjadi penjaga rumah kita di saat kita pergi. Mereka datang dengan sepiring makanan saat kita sakit dan menanyakan dengan detail, sedang saki tapa? Mereka tahu nama kita, orang tua dan bahkan nenek moyang kita dengan lengkap.

Tak dapat disangkal kedekatan fisik akan melahirkan kedekatan emosional. Dan dari situ, tumbuhlah solidaritas, rasa aman, bahkan kasih sayang terasa begitu indah. Apakah tidak ada masalah? Tentu tidak, di manapun pasti ada persoalan, kita membicarakan dan bahkan bisa jadi konflik. Tapi sering kali semua persoalan dilewati begitu saja, dan kita Kembali membutuhkan tetangga dekat kita.

Pertanyaannya adalah, apakah hari ini, kita masih mengenal tetangga kita? Apakah mereka setiap saat akan datang masuk ke rumah kita tanpa malu-malu dan sungkan atau merasa tidak enak untuk sekedar ngobrol ngalor-ngidul? Atau kita malah lebih mengenal username orang asing di media sosial daripada nama orang yang tinggal di balik dinding rumah kita? Memang banyak factor kita tidak melakukannya seperti kehidupan kita dulu. Alasannya bisa kita daftar untuk tidak mengenal tetangga kita.

Ya, memang kita ini hidup dalam dunia yang sibuk, tertutup, serba cepat. Privasi begitu dijunjung tinggi, dan rasa saling percaya perlahan tapi pasti jadi barang langka. Kita hanya bisa menyapa sekedarnya tetangga kita, atau malah kita enggan untuk menoleh ke rumahnya, karena kita merasa tidak terlalu membutuhkan.

Kita bisa tinggal berdampingan bertahun-tahun, tanpa berbicara sepatah kata. Kalaupun akan bertemu, bercengkrama, atau sekedar berjabat tangan saja kita membutuhkan media formal, entah itu melalui rapat-rapat resmi di lingkungan kita, atau dalam acara-acara silaturrahmi dalam momen keagamaan. Begitu mahalnya waktu untuk bertemu dengan tetangga kita, sampai-sampai kita harus dibantu oleh surat undangan untuk bisa berkumpul yang difasilitasi oleh RT atau RW.

Tentu kita tidak mengatakan situasinya berlaku umum di setiap tempat, namun jika kita hidup bertetangga dengan gambaran yang sudah saya paparkan di atas, ketahuilah bahwa begitu bahagianya memiliki tetangga yang masih mau datang ke rumah kita dan bercengkrama dengan mereka.

Uangkapan “Tetangga adalah saudara yang paling dekat” mungkin benar bahwa prinsip itu hanya bekerja di tempat-tempat yang masih hangat oleh interaksi sosial, di mana kedekatan dengan orang lain masih menjadi kebutuhan. Ya, tempatnya mungkin masih ada di desa, di kampung, di lingkungan tempat orang masih saling tahu dan mau tahu tentang orang yang menjadi tetangga kita.

Tapi apakah itu berarti prinsip ini mati? Tidak. Ia hanya sedang tertidur. Menunggu kita membangunkannya kembali. Dan kitalah yang seharusnya memulainya. Mungkin dimulai dari sesuatu yang kecil, tersenyum saat berpapasan, obrolan ringan di halaman atau depan rumah bila sedang ada kesempatan untuk melakukannya. Menawarkan bantuan ketika ada tetangga yang baru pindah. Atau sekadar mengetuk pintu, dan menyapanya, “Selamat pagi, saya tinggal di sebelah.”

Karena tetangga tidak harus menjadi asing. Dan arti saudara tidak harus selalu lahir dari darah dan rahim yang sama. Kadang, saudara itu adalah orang pertama yang datang saat kita jatuh, saat kita butuh pertolongan dan mereka hadir. Dan sering kali, dia tinggal hanya beberapa meter dari pintu rumah kita. Penulis Amsal pernah mengatakan begini: “Jangan kau tinggalkan temanmu dan teman ayahmu. Jangan datang di rumah saudaramu pada waktu Engkau malang. Lebih baik tetangga yang dekat dari pada saudara yang jauh.” Amsal 27:10

Posting Komentar