Anak Adalah Tim Keluarga: Melibatkan Anak Melakukan Berbagai Tugas Rumah Tangga

Daftar Isi

Kadang saya berpikir, kenapa ya sulit sekali melibatkan anak dalam tugas rumah tangga? Padahal rumah ini tempat mereka juga. Tempat mereka tidur, makan, bermain, bahkan belajar mengenali dunia. Tapi mengapa urusan menjaga dan merawat rumah seperti jadi tanggung jawab saya sendiri… atau paling banter saya dan pasangan?

Saya sempat menyadari, mungkin karena saya tidak pernah benar-benar melihat anak saya sebagai bagian dari “tim keluarga” yang utuh. Ya, mereka anak. Masih kecil. Masih belajar. Tapi bukankah justru itu saat yang tepat untuk mengajari mereka bahwa rumah ini bukan hotel? Bahwa ada tanggung jawab yang melekat di dalam kebersamaan?

Saya mulai merenung. Mungkin selama ini saya terlalu fokus pada hasil. Saya ingin rumah bersih sekarang. Saya ingin cucian selesai sekarang. Saya ingin dapur rapi sekarang. Dan ketika saya mengajak anak membantu, yang saya dapat justru tambahan pekerjaan: remah-remah bertebaran, cucian jadi mainan, piring pecah, atau lantai yang makin basah.

Akhirnya saya menyerah. “Sudahlah, biar aku saja yang kerjakan.” Kalimat itu jadi mantra. Tapi mantra yang pelan-pelan menjauhkan anak dari keterlibatan, dan membenarkan saya untuk mengambil alih semua peran.

Padahal, kalau saya lihat lebih dalam, keluarga itu seperti tim. Tidak selalu semua anggota tim tahu harus berbuat apa sejak awal. Ada pelatih. Ada momen latihan. Ada kesalahan dan pembelajaran. Kalau saya sebagai orang tua tidak pernah melibatkan anak dalam “latihan tanggung jawab”, bagaimana mereka akan tumbuh jadi pribadi yang tahu cara berkontribusi?

Saya sadar, anak-anak tidak lahir dengan pengetahuan bahwa mereka harus membantu. Mereka belajar dari apa yang kita biasakan. Dan jika saya terus membiarkan rumah jadi panggung di mana saya adalah satu-satunya pemeran utama dan mereka hanya penonton, saya sebenarnya sedang melewatkan kesempatan membangun karakter mereka.

Melibatkan anak dalam tugas rumah bukan soal “minta bantuan”, tapi soal membentuk identitas keluarga. Bahwa di rumah ini, semua saling menjaga. Bahwa membersihkan meja setelah makan bukan tugas ibu, tapi kebiasaan keluarga kita. Bahwa menaruh sepatu di rak bukan perintah, tapi bagian dari cara kita menghormati ruang bersama.

Apakah akan berantakan? Ya. Apakah butuh kesabaran ekstra? Pasti. Tapi bukankah membesarkan anak memang tentang menanam lebih dulu, menyiram berkali-kali, baru melihat hasilnya nanti?

Saya mulai mengubah cara berpikir. Saya tidak lagi menilai “bantuannya” dari seberapa rapi hasilnya, tapi dari seberapa ia mulai merasa bagian dari rumah ini. Ketika dia bilang, “Aku mau sapu, ya,” meski sapuannya tak bersih, itu adalah kemenangan kecil. Ketika dia dengan bangga menyusun piring, meski urutannya terbalik, itu adalah bentuk keterlibatan.

Saya pun belajar menahan tangan. Belajar menahan komentar. Belajar membiarkan prosesnya terjadi. Karena melibatkan anak bukan tentang membuat pekerjaan lebih cepat selesai, tapi membuat anak belajar bahwa dia berharga karena bisa berkontribusi.

Anak adalah bagian dari tim keluarga. Dan tim yang baik, tidak selalu efisien, tapi selalu saling percaya.

Saya juga mulai memberi nama pada peran mereka, bukan sekadar menyuruh. Misalnya, “Kamu hari ini jadi Penjaga Meja Makan,” atau “Kamu jadi Pemimpin Cuci Tangan sebelum makan.” Dengan begitu, mereka merasa punya peran. Merasa dibutuhkan. Merasa dihargai.

Tentu tidak setiap hari berjalan mulus. Ada hari-hari mereka menolak. Ada hari-hari saya kembali mengeluh. Tapi sekarang saya tahu bahwa saya sedang membangun kebiasaan, bukan hanya menyuruh. Dan kebiasaan itu, pelan-pelan menumbuhkan rasa tanggung jawab yang tumbuh dari dalam diri mereka sendiri.

Saya juga menyadari satu hal penting: rumah bukan sekadar tempat tinggal. Rumah adalah sekolah pertama. Dan tugas-tugas rumah tangga bukan sekadar pekerjaan, tapi kurikulum kehidupan yang mengajarkan kemandirian, empati, dan tanggung jawab.

Jadi kalau hari ini Anda merasa frustasi karena anak tidak mau membantu… tarik napas sebentar. Mungkin mereka belum terbiasa, mungkin kita pun belum terbiasa. Tapi jangan menyerah. Libatkan mereka, bukan karena kita lelah, tapi karena kita ingin mereka belajar menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar: keluarga. Jadi seperti penulis Amsal kita bisa mengatakan kepada anak kita, “Hai anakku, jika hatimu bijak, hatiku juga bersukacita.” Amsal 23:15

Posting Komentar