Dewi Fortuna itu Mitos Tapi Kita Orang yang Hidup di Zaman Moderen Sering Meyakininya

Daftar Isi


Pernahkah Anda merasa bahwa keberuntungan datang begitu saja, seolah-olah Yang Maha Kuasa sedang berpihak? Atau sebaliknya, merasa hidup begitu keras, sementara orang lain seperti dimanjakan oleh nasib? Lalu kita berkata, dia sangat beruntung, sedang aku sangat malang.

Hari ini, saya ingin mengajak Anda berbincang tentang satu tokoh kuno yang diam-diam masih kita percaya sampai sekarang: Dewi Fortuna. Dalam mitologi Romawi, ia adalah personifikasi dari keberuntungan, bisa berupa berkat tak terduga, tapi juga bisa jadi kemalangan yang menghantam tanpa aba-aba.

Kita telisik dulu Dewi Fortuna itu. Fortuna digambarkan membawa roda besar, yang disebut Rota Fortunae, yaitu roda nasib yang terus ia putar tanpa henti. Satu saat seseorang berada di atas, menguasai dunia, menikmati sukses, dihormati, dicintai. Tapi giliran berikutnya, ia bisa jatuh ke bawah, kehilangan semua yang ia punya. Yang menarik: Fortuna sering digambarkan wajahnya memakai penutup mata. Jadi ia tidak bisa memilih siapa yang ia akan beri keberuntungan. Jadi, Fortuna ini tidak peduli siapa yang layak.

Bayangkan itu sejenak: nasib yang buta. Keberuntungan yang acak. Kemenangan yang datang bukan karena kerja keras, dan kegagalan yang tiba-tiba, meskipun kita sudah berhitung matang.

Lalu apa artinya semua ini untuk kita, manusia modern? Hari ini, kita tidak lagi membangun kuil untuk Fortuna. Tapi tanpa sadar, kita masih memujanya. Kita menyebutnya “keberuntungan”. Kita membicarakannya ketika seseorang memenangkan undian. Saat seorang pengusaha baru tiba-tiba viral dan tokonya laku keras. Atau ketika seseorang mendapat pasangan yang tampaknya sempurna, padahal baru saling kenal seminggu. Ini keberuntungan.

Kita sering kagum, atau iri, atau bahkan menyalahkan diri sendiri dan berkata, “mengapa bukan aku yang beruntung?”

Tapi ada satu kenyataan yang perlu kita sadari: Fortuna tidak bisa diandalkan. Ia tidak bisa ditangkap, apalagi dimiliki. Dan menggantungkan hidup pada keberuntungan sama seperti berlayar tanpa arah, berharap angin akan membawa kita ke tempat yang baik.

Filsuf  Boethius pernah menulis, “Fortuna tidak pernah menetap; ia memutar roda itu sesukanya.” Tapi menariknya, dia tidak berhenti di situ. Ia menambahkan: “Jika kamu sudah tahu bahwa nasib bisa berubah sewaktu-waktu, mengapa kamu masih menggantungkan kebahagiaanmu padanya?” Ya, pertanyaan yang sama, mengapa kita masih mengandalkan keberuntungan?

Itulah titik penting dari perenungan ini. Fortuna boleh datang, tapi jangan sampai dijadikan dia sebagai fondasi hidup. Karena fondasi itu adalah sesuatu yang bisa kita bangun: karakter, keterampilan, ketekunan, kesabaran, bahkan relasi yang tulus, itulah yang seharusnya terus kita perjuangkan.

Saya percaya, keberuntungan bukan soal menunggu, tapi soal membangun. Membangun kesiapan, membangun ketekunan, membangun keteguhan hati. Maka, ketika Fortuna datang, kita tidak hanya menerimanya, tapi juga mengarahkannya. Memberi makna pada nasib baik, dan tidak terpuruk oleh nasib buruk.

Karena pada akhirnya, bukan keberuntungan yang menentukan siapa kita. Tapi siapa kita, yang menentukan bagaimana kita memperlakukan keberuntungan itu. Kata penulis Yakobus 4:15, Sebenarnyak amu harus berkata, “Jika Tuhan menghendakinya, kami akan hidup dan berbuat ini dan itu.” Jadi jangan lupakan Tuhan dalam setiap perencenaan, dan jangan hanya mengandalkan keberuntungan.

Posting Komentar