Gawat, Anakku Patah Hati: Bagaimana Cara Menghadapinya?
Hari ini, kita akan membahas sesuatu yang mungkin tidak kita rencanakan, tapi bisa terjadi kapan saja kita alami sebagai orang tua: Yah, anak kita patah hati karena ditinggalkan kekasihnya. Tanpa alasan yang jelas, lagi. Sangat menyakitkan. Tidak ada angin, tidak ada hujan, eh, tiba-tiba berakhir. Dan sekarang, kita melihat anak kita murung, menangis, bahkan mungkin mulai menarik diri dari lingkungan.
Sebagai orang tua, tentu hati
kita pasti ikut perih kan? Tapi di sinilah peran kita sebaga orang tua begitu dibutuhkan.
Tapi, bukan bukan untuk menghakimi, atau malah tidak peduli tapi kita hadir untuk
menguatkan. Ikuti terus bagaimana kita menyikapinya bila itu terjadi dengan
anak kita?
Pertama-tama, penting untuk
kita pahami satu hal: rasa sakit karena patah hati itu nyata, bukan drama, atau
pura-pura. Dulu mungkin kita juga merasakannya kan? Jadi jangan kita tidak
peduli karena kita menganggap, Ah, mereka itu kan masih anak-anak, masih cinta
monyet, atau hubungan yang baru seumur jagung. Apa artinya, jangan pernah meremehkan
rasa sakit anak.
Bagi anak, itu adalah dunia
mereka saat ini. Kehilangan itu menyakitkan. Penolakan itu menyakitkan. Dan yang paling berat: mereka mengalaminya
dengan tidak tahu alasannya. Jadi, jangan buru-buru berkata: “Ah, kamu terlalu
lebay.” Atau juga “Alah, banyak yang
lebih parah dari kamu.” Apalagi,
kata-kata “Ya sudahlah, cari yang lain.”
Kalimat seperti itu hanya
membuat mereka merasa diabaikan dan sendirian. Justru di saat seperti itu, kita
sebagai orang tua hadir untuk memperikan dukungan baginya. Tapi apa yang
dibutuhkan oleh anak dalam masa-masa seperti itu? Hadir tanpa melakukan interogasi.
Jadi kehadiran kita bukan seperti detektif yang mencari dan mendesaknya hingga
semakin tertekan, tapi kehadiran sebagai orang tua tempat bersandar.
Bentuknya seperti apa ya,
bila kita menahan diri untuk tidak menjadi hakim atau detektif tadi? Terkadang
kita cukup duduk di sebelahnya saja itu sudah seperti kawan yang hadir untuk
menemani. Kalaupun kita tidak tahan untuk bertanya, maka sampaikan dengan
lembut kepada anak kita, "Kamu mau cerita kepada mama? Aku di sini kok,
aku siap menemanimu." Tapi juga
perlu diperhatikan bahwa kita jangan mendesaknya, karena prinsipnya, jika anak
memang siap untuk bercerita, dia akan segera berbicara. Jadi jangan memberi
kesan kita memaksa bercerita.
Dan saat dia bicara, jangan
buru-buru memberi nasihat, apalagi ketika ia belum selesai menceritakan
kisahnya. Dengarkan dulu baik-baik. Tunjukkan bahwa kita benar-benar peduli,
bahkan pada hal-hal kecil yang menurut kita sepele. Tapi kita berusaha untuk
berada di posisi anak kita. Anak kita mungkin saja dalam kondisi marah, kecewa,
bahkan merasa tidak berharga, sudah ditinggalkan begitu saja, tanpa alasan yang
jelas. Biarkan dia merasakan semua itu. Dan
akhirnya kita akan tahu bagaimana perasaannya.
Bisa saja setelah selesai
menceritakan semuanya kita berbicara, "Wajar kok kamu merasa sedih." Juga
kata-kata "Kamu berharga, meski orang itu pergi." Atau "Aku bangga kamu bisa tetap berdiri
meski sedang luka."
Perkataan-perkataan sederhana
seperti itu bisa jadi penyelamat di mana kita membesarkan hatinya. Karena di
masa seperti ini, anak butuh tahu bahwa ada tempat yang tidak meninggalkannya dan
tempat itu adalah rumah.
Nah, sebagai orang tua kita
juga harus peka dengan sikap anak kita yang sedang patah hati seperti itu, jeli
bila anak menunjukkan gejala yang kurang baik dan menghawatirkan. Misalkan dia
tidak mau makan atau tidur berhari-hari,
menyendiri total, bahkan tidak mau bicara, atau mengutarakan kalimat
seperti “nggak ada gunanya hidup” atau perilakunya berubah drastis. Ada baiknya
untuk dibawa ke konselor atau hamba Tuhan. Karena lebih baik bertindak cepat
daripada menyesal terlambat. Karena patah
hati memang bukan penyakit jiwa, tapi bisa memicu luka batin yang dalam jika
tidak ditangani dengan hangat dan tepat.
Tapi bila respon anak kita
biasa-biasa saja, maka sebenarnya banyak pelajaran tentang kehidupan di mana anak
yang patah hati adalah anak yang sedang belajar tentang kehidupan. Jangan
biarkan dia belajar sendirian. Dengan kehadiran kita, pelukan kita, dan
kata-kata kita yang penuh kasih, kita bukan hanya membantu dia bangki, tapi
membentuknya menjadi pribadi yang lebih kuat dan bijak. Kata Pemazmur 127:3:
"Lihatlah, anak-anak itu adalah warisan dari TUHAN, buah-buah rahim adalah
ganjaran."
Posting Komentar
Karena saya percaya pengalaman Anda adalah berharga bagi keluarga lainnya.