Kecemasan yang Kita Wariskan: Saat Rasa Takut Orang Tua Membentuk Dunia Anak
Dan dalam situasi itu, tanpa
sadar, suara kita meninggi. Nada kita berubah. Wajah kita tegang. Kita berkata,
“Cepat dong! Nanti kamu dimarahi lho!” Anak pun ikut merasa tegang, padahal
mungkin… sebenarnya dia tahu apa yang harus dilakukan.
Mungkin dia sudah punya
rencana, walau dengan pikiran yang sederhana sederhana. Tapi sebelum sempat
dijalankan, kita sudah menyuguhkan ketakutan yang bahkan belum tentu terjadi.
Ya, ini adalah contoh kecil
dari apa yang disebut sebagai kecemasan yang ditularkan. Lebih dari sekadar
kekhawatiran, ini adalah rasa takut yang diwariskan sebelum waktunya.
Saya percaya, semua orang tua
ingin yang terbaik untuk anaknya. Tapi kadang kita lupa, bahwa niat baik tidak
selalu berarti pendekatannya benar. Kita merasa khawatir karena ingin
melindungi. Tapi dalam perlindungan itu, sering kali kita mempersempit ruang
bagi anak untuk belajar menghadapi dunia.
Kecemasan membuat kita ingin
mengatur segalanya. Kita ingin memastikan anak tidak sakit, tidak gagal, tidak
sedih. Tapi tahukah kita yang sebenarnya? Ketika kita terlalu sibuk
menghindarkan anak dari hal-hal yang membuat anak tidak nyaman, kita juga
membuat mereka tidak belajar cara menghadapinya.
Sering kali saya mengingatkan
perumpamaan ini. Anak-anak itu seperti spons. Mereka bukan hanya menyerap apa
yang kita ajarkan, tapi juga emosi yang kita pancarkan. Jika setiap hari yang
mereka lihat adalah orang tua yang panik, takut, cemas, atau terlalu khawatir, itu
akan membentuk pola pikir mereka. Mereka akan belajar bahwa dunia itu
berbahaya. Bahwa mereka tidak bisa dipercaya untuk mengambil keputusan sendiri.
Bahwa apapun harus dipikirkan dengan rasa takut.
Lalu, tumbuhlah mereka
menjadi pribadi yang selalu ragu mengambil langkah, takut salah, takut gagal,
dan takut kakut kecewa.
Padahal hidup adalah tentang
berani mencoba. Tentang bertumbuh dari kegagalan kecil. Tentang menghadapi
dunia, bukan sekadar menghindari risikonya. Saya tahu, kita semua punya sejarah
sendiri. Banyak dari kita dibesarkan dalam pola pikir yang penuh kontrol dan
ketakutan dulu. Mungkin kita sendiri dulu pernah dimarahi karena hal kecil. Pernah
merasa malu karena terlambat. Pernah merasa tidak cukup baik. Dan kini, tanpa
sadar, kita hanya melanjutkan apa yang dulu kita alami.
Tapi hari ini… kita bisa
berhenti sejenak. Kita bisa bertanya, “Apakah yang saya rasakan ini memang
benar-benar milik anak saya, atau ini hanya bayangan dari masa lalu saya?”
Lalu, apa yang bisa kita lakukan?
Pertama, kenali dan akui kecemasan itu. Tak perlu malu. Tak
perlu menyangkal. Menjadi orang tua yang cemas bukanlah aib. Itu manusiawi.
Tapi yang penting adalah kita tidak membiarkan kecemasan itu mengatur arah
pengasuhan kita.
Kedua, beri ruang bagi anak
untuk mencoba dan belajar dari kesalahan. Misalnya, kalau anak memang
terlambat, dampingi saja ia menghadapi konsekuensinya. Mungkin dimarahi guru,
mungkin merasa malu. Tapi dari situ dia belajar.
Ketiga, percaya bahwa anak
juga punya daya pikir dan perencanaan, walau sederhana. Berikan mereka
kepercayaan itu. Jangan buru-buru mengambil alih hanya karena kita merasa lebih
tahu.
Terakhir, rawat diri kita
sendiri. Kecemasan sering tumbuh subur dalam tubuh dan jiwa yang kelelahan. Tidur
cukup, berbagi cerita dengan teman, atau sekadar memberi waktu untuk diri
sendir, itu bukan egois. Itu penting.
Posting Komentar
Karena saya percaya pengalaman Anda adalah berharga bagi keluarga lainnya.