Kecemasan yang Kita Wariskan: Saat Rasa Takut Orang Tua Membentuk Dunia Anak

Daftar Isi

Coba kita bayangkan situasi ini... pagi hari, terburu-buru menyiapkan anak berangkat sekolah. Jam sudah menunjuk pukul tujuh kurang. Kita panik. Takut terlambat. Takut anak dimarahi gurunya. Takut dia malu. Takut dia tak bisa mengikuti pelajaran dengan baik.

Dan dalam situasi itu, tanpa sadar, suara kita meninggi. Nada kita berubah. Wajah kita tegang. Kita berkata, “Cepat dong! Nanti kamu dimarahi lho!” Anak pun ikut merasa tegang, padahal mungkin… sebenarnya dia tahu apa yang harus dilakukan.

Mungkin dia sudah punya rencana, walau dengan pikiran yang sederhana sederhana. Tapi sebelum sempat dijalankan, kita sudah menyuguhkan ketakutan yang bahkan belum tentu terjadi.

Ya, ini adalah contoh kecil dari apa yang disebut sebagai kecemasan yang ditularkan. Lebih dari sekadar kekhawatiran, ini adalah rasa takut yang diwariskan sebelum waktunya.

Saya percaya, semua orang tua ingin yang terbaik untuk anaknya. Tapi kadang kita lupa, bahwa niat baik tidak selalu berarti pendekatannya benar. Kita merasa khawatir karena ingin melindungi. Tapi dalam perlindungan itu, sering kali kita mempersempit ruang bagi anak untuk belajar menghadapi dunia.

Kecemasan membuat kita ingin mengatur segalanya. Kita ingin memastikan anak tidak sakit, tidak gagal, tidak sedih. Tapi tahukah kita yang sebenarnya? Ketika kita terlalu sibuk menghindarkan anak dari hal-hal yang membuat anak tidak nyaman, kita juga membuat mereka tidak belajar cara menghadapinya.

Sering kali saya mengingatkan perumpamaan ini. Anak-anak itu seperti spons. Mereka bukan hanya menyerap apa yang kita ajarkan, tapi juga emosi yang kita pancarkan. Jika setiap hari yang mereka lihat adalah orang tua yang panik, takut, cemas, atau terlalu khawatir, itu akan membentuk pola pikir mereka. Mereka akan belajar bahwa dunia itu berbahaya. Bahwa mereka tidak bisa dipercaya untuk mengambil keputusan sendiri. Bahwa apapun harus dipikirkan dengan rasa takut.

Lalu, tumbuhlah mereka menjadi pribadi yang selalu ragu mengambil langkah, takut salah, takut gagal, dan takut kakut kecewa.

Padahal hidup adalah tentang berani mencoba. Tentang bertumbuh dari kegagalan kecil. Tentang menghadapi dunia, bukan sekadar menghindari risikonya. Saya tahu, kita semua punya sejarah sendiri. Banyak dari kita dibesarkan dalam pola pikir yang penuh kontrol dan ketakutan dulu. Mungkin kita sendiri dulu pernah dimarahi karena hal kecil. Pernah merasa malu karena terlambat. Pernah merasa tidak cukup baik. Dan kini, tanpa sadar, kita hanya melanjutkan apa yang dulu kita alami.

Tapi hari ini… kita bisa berhenti sejenak. Kita bisa bertanya, “Apakah yang saya rasakan ini memang benar-benar milik anak saya, atau ini hanya bayangan dari masa lalu saya?”

Lalu, apa yang bisa kita lakukan? 

Pertama, kenali dan akui kecemasan itu. Tak perlu malu. Tak perlu menyangkal. Menjadi orang tua yang cemas bukanlah aib. Itu manusiawi. Tapi yang penting adalah kita tidak membiarkan kecemasan itu mengatur arah pengasuhan kita.

Kedua, beri ruang bagi anak untuk mencoba dan belajar dari kesalahan. Misalnya, kalau anak memang terlambat, dampingi saja ia menghadapi konsekuensinya. Mungkin dimarahi guru, mungkin merasa malu. Tapi dari situ dia belajar.

Ketiga, percaya bahwa anak juga punya daya pikir dan perencanaan, walau sederhana. Berikan mereka kepercayaan itu. Jangan buru-buru mengambil alih hanya karena kita merasa lebih tahu.

Terakhir, rawat diri kita sendiri. Kecemasan sering tumbuh subur dalam tubuh dan jiwa yang kelelahan. Tidur cukup, berbagi cerita dengan teman, atau sekadar memberi waktu untuk diri sendir, itu bukan egois. Itu penting.

Kita tidak bisa menjanjikan kehidupan yang sempurna untuk anak-anak kita. Tapi kita bisa membekali mereka dengan keberanian. Dan keberanian itu lahir bukan dari hidup tanpa rasa takut, tapi dari belajar menghadapi ketakutan satu per satu. Mari kita ubah cara kita menyampaikan cinta. Bukan lewat kontrol yang lahir dari kecemasan, Tapi lewat kepercayaan yang lahir dari kedewasaan. Sehingga kita bisa mengatakan kepada anak-anak kita, "Sebab itu, hai anakku, jadilah kuat oleh kasih karunia dalam Kristus Yesus." 2 Timotius 2:1 

Posting Komentar