Ketika Iman Retak: Menerima Diri Saat Meragukan Tuhan

Daftar Isi


Rasa Sakit yang Menggoyahkan Iman

Ada luka yang begitu dalam, hingga pertanyaannya bukan lagi, “Kenapa ini terjadi pada saya?”, tetapi “Apakah Tuhan benar-benar ada?” Ini bukan pertanyaan sesat. Ini bukan tanda imanmu rusak. Ini adalah puncak kejujuran batin saat realitas hidup terlalu berat untuk ditanggung dengan kalimat-kalimat penghibur biasa. Saat kita bertanya seperti itu, identitas kita — siapa kita, untuk apa kita hidup, dan bagaimana kita memandang nilai diri sendiri — ikut goyah.


Diri yang Hancur, Iman yang Terkikis

Ketika seseorang mengalami penderitaan berat, dan tidak ada tangan yang menjangkau, tidak ada doa yang terasa dijawab, tidak ada suara surgawi yang menyapa —maka perlahan, diri bisa merasa hampa. Apalagi jika sejak kecil, kita diajari bahwa Tuhan adalah sumber cinta, perlindungan, bahkan nilai diri. Maka, saat kita merasa “Tuhan jauh”, harga diri kita pun ikut tenggelam.


Hubungan Spiritual dan Penerimaan Diri

Pertanyaannya kini menjadi lebih tajam: Jika saya tidak merasa Tuhan mencintai saya, apakah saya masih layak dicintai? Jika saya kecewa pada Tuhan, apakah saya masih orang yang baik? Di sinilah kita melihat bahwa penerimaan diri sangat berkaitan dengan relasi kita terhadap Tuhan. Bahkan bisa dikatakan: bagaimana kita memandang Tuhan akan membentuk cara kita memandang diri sendiri.


Dari Keputusasaan Menuju Kejujuran

Tetapi justru di titik terendah itulah, lahir peluang untuk menemukan penerimaan diri yang lebih jujur. Penerimaan yang tidak dibangun di atas rasa puas atau kemenangan spiritual, tetapi dibangun dari keberanian untuk mengakui keraguan.

“Saya pernah meragukan Tuhan, dan saya tetap pantas dihargai.”

“Saya kecewa, tapi saya tidak lagi membenci diri saya karena itu.”


Penerimaan Diri Adalah Menerima Seluruh Perjalanan Jiwa

Penerimaan diri bukan hanya menerima tubuh, latar belakang, atau kekurangan. Itu juga berarti:

- menerima momen-momen iman kita retak,

- menerima pertanyaan eksistensial kita,

- menerima versi diri kita yang pernah kecewa, marah, bahkan menyerah.

Dan ironisnya, di sanalah kita justru mulai benar-benar mengenal Tuhan.


Ketika Tuhan Tidak Menjawab — Tapi Diri Tidak Hancur

Banyak orang yang selamat dari badai spiritual bukan karena Tuhan “menyapa mereka secara spektakuler,” tetapi karena mereka bertahan dalam keheningan yang panjang — dan akhirnya menemukan bahwa: Nilai diri mereka tidak pernah benar-benar hilang. Dan bahwa Tuhan tidak hanya hadir dalam suara yang jelas, tapi juga dalam diam yang panjang.


Kesimpulan: Tuhan, Luka, dan Diri yang Diterima

Jika kamu pernah meragukan Tuhan, dan tetap memilih hidup… maka kamu telah membuktikan bahwa nilai dirimu tidak bergantung pada kepastian iman, melainkan pada kedalaman batin yang telah diuji oleh realitas. 

Dan di sana, penerimaan diri menjadi bukan sekadar tema psikologi, melainkan hasil dari spiritualitas yang jujur dan terbuka.

Posting Komentar