Mengenal Pola Menjaga Hati: Kitalah Penanggung Jawabnya Baik dan Buruknya
Kalau dipikir-pikir, teknologi kita sekarang sudah
sangat canggih. Ada alat buat ngukur aktivitas otak, kayak EEG atau fMRI. Ada
jam tangan pintar yang bisa kasih tau kita lagi stres atau nggak, dari detak
jantung kita. Atau ada AI yang bisa membaca emosi dari suara dan ekspresi wajah
kita. Semuanya begitu lengkap dan kita bersyukur untuk semuanya.
Tapi tetap saja semuanya itu cuma ‘kulit luarnya’. Ya, gerakan hati, yang sesungguhnya, tetap nsaja tidak bisa dibaca sepenuhnya dengan alat canggih manapun di dunia ini. Makanya, kata orang, dalamnya laut bisa diduga, tapi dalamnya hati siapa yang tahu. Ya benar, tidak ada orang atau alat cangguh yang bisa mendeteksi hati kita.
Kalau begitu, lalu gimana kita bisa melihat gerakan hati orang lain, atau orang lain melihat hati kita? Ya, melalui akibat dari dorongan atau gerakan hati kita. Lewat tindakan yang dilakukan. Lewat kata-kata yang kita ucapkan. Lewat keputusan kecil dan besar yang kita buat. Dan di sini, dunia etika mulai ikut berbicara.
Ada pandangan yang mengatakan: 'Yang penting itu niatnya.' Kalau kita pernah mendengar nama Immanuel Kant, dia percaya sekali kalau niat baik itu lebih penting daripada hasilnya. Tapi ada juga yang mengatakan, 'Yang penting itu hasil akhirnya.' Tidak peduli hatimu seperti apa, kalau tindakanmu membawa kebaikan buat banyak orang, ya itu yang dinilai. Ini seperti pendekatan utilitarianisme, yaitu mementingkan hasil terbaik untuk sebanyak mungkin orang.
Ada juga pendekatan yang lebih kepada soal karakter. Bukan cuma niat, bukan cuma hasil, tapi siapa Anda sehari-harinya. Kalau Anda terbiasa dengan kebaikan, empati, kejujuran, gerakan hati itu akan jadi bagian dari karakter seseorang, dan otomatis tercermin dalam hidup orang tersebut.
Dan ada juga yang berfokus pada kasih. Bahwa semua tindakan etis berakar dari gerakan hati yang penuh cinta. Bukan cinta yang muluk-muluk, tapi cinta yang diwujudkan dalam perhatian kecil, dalam keberanian, dalam kehadiran."
Masalahnya, adalah kita tidak bisa mengintip isi hati orang lain, bahkan orang yang paling dekatpun tidak bisa. Kita cuma bisa merasakan dari luar, kadang juga menebah-nebak, kadang malah salah sangka, salah tafsir, dan tidak jarang juga menjadi masalah dalam hubungan. Karena itu, dalam berhubungan sama orang lain, kita sebenarnya diajarkan untuk bersikap rendah hati.
Tidak ada alat, tidak ada teknologi, tidak ada manusia lain yang bisa benar-benar membaca hati kita atau membaca hati orang lain. Yang bisa menjaga gerakan hati Anda, yang bisa mendengarkan detaknya, yang bisa menilai lurus atau tidaknya, cuma Anda. Ya Cuma kita sendiri yang punya hati. Itulah kenapa, menjaga hati adalah tanggung jawab pribadi. Memeriksa niat, memperhalus rasa, mengoreksi arah. Semua itu pekerjaan diam-diam yang hanya bisa kita lakukan sendiri.
Karena apa yang bergerak di dalam hati, cepat atau lambat, akan kelihatan dalam hidup kita. Dalam kata-kata kita. Dalam pilihan-pilihan kecil kita. Dalam cara kita mencintai, mengampuni, merelakan. Sekarang pertanyaannya Apa ada alat untuk mendeteksi gerakan hati? Tapi apakah aku cukup peka untuk mendengarkan gerakan hatiku sendiri? Kata Penulis Amsal 4:23 "Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan."
Posting Komentar
Karena saya percaya pengalaman Anda adalah berharga bagi keluarga lainnya.