Altruisme dan Kerajaan Surga: Sebuah Renungan Kristiani

Daftar Isi

Hari ini, saya ingin mengajak Anda merenung sejenak tentang sesuatu yang mungkin sederhana dalam perbuatan, tetapi berat dalam motivasi: altruisme.

Kita sering mendengar bahwa altruisme adalah tindakan tanpa pamrih. Tapi apakah mungkin manusia memberi tanpa ingin dilihat, dihargai, atau dikenang? Sebagai orang Kristen, kita diajak untuk mengikuti teladan Kristus. Tapi apakah kita sungguh-sungguh memberi karena cinta? Ataukah kadang, dalam keheningan hati, kita juga menyelipkan harapan untuk dikagumi atau dikenang?

Secara filosofis, altruisme adalah sikap mendahulukan kepentingan orang lain dibandingkan diri sendiri, dan melakukannya tanpa mengharapkan imbalan. Konsep ini pada dasarnya berakar pada kasih. Namun kasih yang seperti apa? Apakah kasih yang diam-diam berharap dibalas? Atau kasih yang rela hilang tanpa jejak?

Menarik ketika kita membaca Injil Matius 18. Para murid datang kepada Yesus dan bertanya: “Siapakah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga?” Pertanyaan ini tampaknya sederhana, tapi mengungkap sebuah kecenderungan manusiawi, hasrat untuk menjadi lebih besar, bahkan dalam hal yang rohani.

Apa jawaban Yesus?

Yesus tidak menunjuk tokoh besar. Ia justru memanggil seorang anak kecil dan menempatkannya di tengah mereka. “Jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.” Tuhan Yesus sedang menunjukkan bahwa kerendahan hati dan ketulusan, bukan ambisi, yang menjadi tiket masuk ke dalam Kerajaan-Nya.

Anak kecil adalah simbol seseorang yang memberi dan menerima dengan jujur, tanpa agenda tersembunyi. Mereka belum rusak oleh perhitungan untung-rugi atau pencitraan sosial.

Yesus juga menegaskan sesuatu yang sangat filosofis tentang memberi, dalam Matius 6:3: "Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu." Ya, Memberi dalam keheningan. Tanpa sorotan. Tanpa ingin dikenal sebagai "baik". Tanpa unggahan. Tanpa label "dermawan".

Yesus menekankan: Tindakan kasih sejati tidak butuh panggung. Mengapa? Karena di hadapan Allah, niat lebih penting daripada aksi yang tampak. Memberi yang sejati bukan sekadar tindakan sosial, tapi ibadah batin.

Namun kita juga manusia. Kadang, saat kita memberi, hati kecil kita berharap diingat. Atau paling tidak, tidak dilupakan. Apakah itu salah? Tidak. Itu manusiawi. Tetapi sebagai pengikut Kristus, kita dipanggil untuk menyadari, lalu menyucikan motivasi kita. Tidak harus sempurna. Tapi kita bisa bertumbuh ke arah kasih yang murni.

Altruisme dalam kekristenan bukan berarti menghilangkan diri, tapi mengosongkan diri seperti Kristus. Filipi 2:7 mengatakan bahwa Yesus “mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba...” Memberi tanpa pamrih, karena tahu bahwa kasih yang sejati tidak harus menang, tidak harus dilihat, tapi selalu menyelamatkan.

Akhirnya, dalam dunia yang mendorong kita untuk “menjadi yang terbesar”, Yesus justru mengajarkan kita untuk menjadi yang terkecil. Bukan karena kita lemah, tapi karena hanya orang yang kecil di mata sendiri yang bisa benar-benar memberi tanpa menguasai.

Altruisme bukan sikap naif. Ia adalah bentuk kekuatan. Kekuatan untuk berkata: “Aku memilih mengasihi, walau tak dilihat. Aku memilih memberi, meski tak dibalas.” Mungkin itu juga sebabnya mengapa Yesus mengatakan: "Barangsiapa merendahkan diri seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga." (Matius 18:4). Semoga kita terus belajar memberi dalam keheningan, mengasihi tanpa sorotan, dan percaya bahwa kasih yang tulus tidak akan sia-sia.

Posting Komentar