Kesunyian itu Musuh atau Sahabat?
Pernahkah Anda duduk sendiri di sore hari, tanpa suara apa pun, hanya ditemani detak jam dinding dan napas sendiri? Sesekali tetangga lewat dengan mobilnya yang membuyarkan kesunyian, dan akhirnya setelah lewat tidak ada lagi bunyi.
Yah, kesunyian. Dulu saya pikir itu adalah musuh.
Rasanya tidak tahan jika sendiri dan apalagi sunyi. Terutama saat anak-anak
sudah besar dan sibuk dengan dunianya sendiri. Istri sibuk di dapur atau
mungkin juga sedang diam memikirkan hal-hal yang tak lagi saya pahami. Televisi
menyala, tapi tidak benar-benar ditonton. Hanya sekadar teman yang mengisi
ruang yang kosong.
Saya ingat betul satu sore…saya duduk di teras. Teh
sudah mulai dingin dengan cepat karena mungkin udara yang membuatnya lekas
dingin. Hujan rintik-rintik. Tidak ada yang perlu saya lakukan. Dan tidak ada
juga yang saya tunggu.
Lalu saya merasa… sepi. Bukan karena tidak ada orang.
Tapi karena saya merasa tidak terhubung dengan siapa pun. Kesepian yang datang
diam-diam. Dan entah kenapa, terasa begitu menusuk.
Di usia 50-an, banyak dari kita mulai akrab dengan
sunyi. Anak-anak tumbuh, dan tidak lagi menunggu kita di pintu, seperti dulu
waktu mereka masih kecil yang kita dengar teriakannya saat wajah kita muncul.
Teman-teman satu per satu mulai jarang terdengar.
Bahkan pasangan kita… bisa jadi duduk serumah, tapi sudah tidak banyak bicara.
Kesunyian seperti itu bisa membuat kita bertanya: "Apa saya masih
berarti?" Pertanyaan lain muncul, "Apakah saya mulai tak penting
lagi?" Atau juga, pertanyaan lain "Apakah ini tandanya saya
benar-benar mulai menua?"
Dan itulah saat saya berpikir: “Apakah kesunyian ini
musuh… atau sebenarnya sahabat yang sedang mengetuk pintu?” Yah, kesunyian yang
seharusnya mengajak kita untuk lebih memikirkan ke dalam diri.
Setelah cukup lama menghindari kesunyian, saya mulai
mencoba “diam bersama kesunyian itu”. Saya duduk lebih lama di pagi hari tanpa
membuka HP. Saya berjalan pelan menyusuri jalan kecil dekat rumah, tanpa musik,
tanpa suara. Saya menulis sedikit di buku catatan harian, sesuatu yang sudah
lama tidak saya lakukan. Dan perlahan… saya mulai mengenali suara hati saya
sendiri.
Ternyata, selama ini saya terlalu sibuk. Sibuk
bekerja. Sibuk menjadi suami. Sibuk menjadi ayah. Tapi saya tidak pernah
benar-benar duduk dan bertanya pada diri sendiri: “Apa kabarmu hari ini?” Atau
bertanya, “Apa yang membuatmu sedih?” Dan juga pertanyaan “Apa yang sebenarnya
kamu rindukan?”
Yah, kesunyian, kalau kita tidak takut padanya, bisa
menjadi tempat kita menyembuhkan luka-luka yang tersembunyi. Saya ingat satu
momen ketika saya benar-benar merasa ditinggalkan. Semua doa saya seakan tak
dijawab. Hati saya penuh pertanyaan. Tapi di tengah kesunyian itulah… Saya
seperti mendengar Tuhan berkata: “Aku di sini. Sejak awal. Kamu saja yang
terlalu ramai.”
Terkadang Tuhan justru berbicara dalam kesunyian. Ia
tidak selalu hadir lewat keajaiban besar atau gemuruh mujizat. Kadang Ia hanya
hadir sebagai keheningan… yang membuat kita berhenti, diam, dan sadar bahwa
kita tidak sendiri. Saya teringat kisah Elia di 1 Raja-Raja 19. Tuhan tidak
hadir dalam angin besar, gempa, atau api. Tapi dalam suara yang lembut dan
tenang. “Dan sesudah api itu datanglah suara angin sepoi-sepoi basa…” (1
Raja-Raja 19:12). Itulah suara Tuhan, yang hanya bisa kita dengar… ketika kita
diam.
Jadi kita belajar melihat kesunyian bukan sebagai
musuh, tapi sahabat. Ia bukan kekosongan. Tapi ruang. Ruang untuk bertumbuh. Ruang
untuk mengampuni. Ruang untuk berdoa tanpa kata-kata. Karena justru dalam
sunyi, kita bisa jujur, bahkan pada diri sendiri.
Benar, bahwa kesunyian masih datang sesekali. Terutama
malam-malam setelah semua lampu dipadamkan dan hanya suara detik jam yang
menemani. Tapi kini, saya tidak lagi takut. Karena saya tahu, di balik
kesunyian… ada Tuhan yang menanti untuk berbicara. Ada hati yang ingin
didengar. Dan ada damai yang bisa ditemukan. “Tinggallah tenang dan ketahuilah
bahwa Akulah Allah.” (Mazmur 46:10).
Jadi kadang kita tak perlu bicara. Tak perlu sibuk
menjelaskan. Cukup diam. Cukup hadir. Dan cukup tahu, bahwa Tuhan ada. Di situ.
Dalam sunyi yang lembut.
Posting Komentar
Karena saya percaya pengalaman Anda adalah berharga bagi keluarga lainnya.