Kita Punya Waktu yang Sama, Tapi Kenapa Terasa Beda?

Table of Contents


Setiap orang diberi 24 jam sehari. Tidak ada yang kurang, tidak ada yang lebih. Tapi dalam kenyataannya, ada orang yang tampaknya bisa melakukan banyak hal dalam sehari, sementara yang lain selalu merasa kekurangan waktu.

Apakah itu karena mereka lebih hebat? Atau kita yang salah kelola?

Ternyata jawabannya bukan sekadar soal produktivitas, tapi soal cara menghargai waktu.

Saat Kita Tidak Menghargai Waktu, Kita Sebenarnya Sedang Tidak Menghargai Orang

Dalam kehidupan kita sehari-hari, sering kita menemui hal ini:

Acara dijadwalkan pukul 09.00, tapi baru dimulai pukul 09.15 — karena “masih sedikit yang datang.”

Ini dianggap wajar. Bahkan sudah menjadi “aturan tidak tertulis” di banyak tempat. Akibatnya, banyak orang akhirnya membuat patokan pribadi, bahwa kalau disebut pukul 09.00, artinya ya datang 15 menit setelahnya.

Masalahnya bukan pada satu-dua keterlambatan yang tidak bisa dihindari. Kita semua bisa mengalami kemacetan, urusan mendadak, atau kendala keluarga. Tapi yang jadi persoalan adalah ketika ketidaktepatan waktu dijadikan budaya. Di situlah waktu mulai kehilangan maknanya — dan rasa hormat terhadap orang lain pun ikut luntur.

Budaya Molor: Masalah Ketertiban, Bukan Sekadar Jam

Jika kita terbiasa menganggap molor sebagai hal biasa, kita secara tidak sadar sedang menyampaikan pesan:

"Waktumu tidak sepenting waktuku."

Padahal, di balik setiap waktu yang terlambat, ada orang yang datang tepat waktu dan merasa tidak dihargai. Bahkan, jika kita adalah penanggung jawab acara dan tidak konsisten memulai tepat waktu, kita justru sedang membentuk budaya ketidaktertiban.

Ketika ketidaktepatan waktu dianggap lumrah, maka kita menormalisasi kekacauan.

Apa Kata Iman tentang Waktu?

Alkitab punya pandangan yang jelas tentang waktu dan ketertiban.

“Segala sesuatu ada waktunya, untuk setiap hal di bawah langit ada waktunya.” (Pengkhotbah 3:1)

“Perhatikanlah dengan saksama, bagaimana kamu hidup... pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat.” (Efesus 5:15–16)

Waktu bukan sekadar urusan jam, tapi panggilan moral dan spiritual.

Menghargai waktu berarti menghargai kehidupan yang dipercayakan Tuhan pada kita.

Tepat waktu adalah bentuk tanggung jawab, bukan hanya kedisiplinan pribadi, tapi juga penghormatan terhadap orang lain dan Tuhan.

Kunci: Konsistensi dan Keteladanan

Jika kita menginginkan budaya tertib waktu, maka harus dimulai dari yang memimpin.

Orang yang konsisten memulai acara tepat waktu — walau hanya satu orang yang datang — sedang menanamkan nilai yang jauh lebih besar daripada sekadar mematuhi jadwal.

“Karena Allah bukan Allah kekacauan, melainkan Allah damai sejahtera.” (1 Korintus 14:33)

“Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana.” (Mazmur 90:12)

Mari Mulai dari Kita

Tidak ada perubahan besar yang tidak dimulai dari langkah kecil.

Membiasakan datang tepat waktu, menghormati waktu orang lain, dan bersikap tertib dalam hal sekecil apa pun adalah latihan rohani sekaligus bentuk kasih yang nyata.

Mari kita kembalikan makna waktu — bukan hanya sebagai alat pengatur jadwal, tapi sebagai cerminan karakter kita.

Karena waktu bukan milik kita, melainkan anugerah dari Tuhan.

Penutup

Mungkin sudah waktunya kita berhenti berkata, “Ah, cuma telat lima menit.”

Karena lima menit yang diabaikan hari ini, bisa membentuk lima puluh tahun budaya yang salah kaprah.

Posting Komentar