Marah atau Mengarahkan Saat Anak Menangis?

Daftar Isi

Sahabat keluarga yang saya kasihi dalam Tuhan. saya sebagai seorang ibu, hari ini saya ingin berbagi bukan sebagai ahli parenting, tapi sebagai seorang ibu yang pernah salah, pernah bingung, dan pernah menangis sendirian setelah membentak anak saya yang... hanya sedang menangis.

Tema kita hari ini adalah “Marah atau Mengarahkan dan bagaimana reaksi orang tua saat anak menangis.” Karena sungguh, tangisan anak, apalagi balita, itu seperti ujian kesabaran yang datang tanpa aba-aba. Dan jujur saja, seringkali kita bereaksi, bukan merespons. Sekali lagi, kita sering bereaksi ketimbang merespon.

Padahal tangisan anak itu bukan ancaman, tapi tanda komunikasi. Dulu, waktu anak pertama saya berusia dua tahun, ia sering sekali menangis kalau tidak mendapat apa yang dia mau. Mainan, makanan, bahkan sendok warna tertentu. Dan saya... jengkel. Saya berpikir, “Kamu itu nangis terus, kenapa sih? Kan Mama sudah capek!”

Sampai satu kali, suami saya hanya berkata pelan, “Dia nggak tahu cara ngomong, jadi dia menangis.” Dan kalimat itu seperti menampar saya. Benar juga ya. Tangis itu adalah bahasa mereka sebelum bisa berbicara. Jangan-jangan kalau dia langsung bicara, kitanya yang kaget.

Di sinilah saya mulai belajar: Bahwa menangis bukan bentuk manipulasi, tapi bentuk ekspresi frustrasi, karena ia belum bisa menjelaskan apa yang dia rasakan.

Tapi bagaimana di saat kita sebagai orang tua lebih lelah dari anak? Saya tahu persis, kadang kita sudah lelah. Pekerjaan di rumah belum selesai, ada deadline, belum lagi tekanan dari keluarga besar. Anak menangis di saat seperti itu? Rasanya dunia runtuh. Tapi... apakah anak tahu bahwa kita sedang stres? Tidak kan?

Ia hanya tahu bahwa ia butuh kita. Dan saat kita marah, anak memang bisa diam...Tapi diam karena takut, bukan karena mengerti. Yang terjadi kemudian adalah: ia belajar menahan tangisnya. Bukan belajar mengenali emosinya.

Saya belajar satu hal penting dari masa-masa itu: Tugas orang tua bukan menghentikan tangis, tapi membantu anak memahami emosinya.

Dari sinilah kita bisa belajar untuk mengarahkan dan bukan membungkam. Ada satu peristiwa yang saya ingat jelas. Anak saya menangis karena tidak boleh menonton video. Saya duduk bersamanya dan berkata, “Kamu boleh sedih. Tapi Mama tahu kamu bisa tenang.”

Saya peluk dia. Saya diamkan sebentar. Lalu saya ajak bicara setelah ia lebih tenang. Hasilnya? Ia tetap kecewa, iya. Tapi ia belajar bahwa kecewa itu tidak apa-apa. Yang penting bagaimana kita mengelolanya.

Saudara, mengarahkan anak dalam tangisnya butuh latihan. Bukan sekali langsung berhasil. Tapi reaksi kita perlahan membentuk kepercayaan: “Kalau aku nangis, Mama atau Papa tetap sayang sama aku.”

Sebenarnya kalau kita menyamakan hubungan kita dengan anak dalam konteks menangis tadi, jika kita sebagai umatNya dalam kondisi sedih, bahkan patah hati dan bisa membawa kepada tangisan, maka Tuhan pun tidak menghentikan tangis kita seketika.

Dalam renungan saya sebagai ibu, saya sering membayangkan Tuhan sebagai Bapa yang penuh kasih. Dia tidak langsung menyuruh kita diam saat kita menangis, bukan? Dalam Mazmur, kita baca banyak tangisan Daud. Dan Tuhan tidak membentak. Ia mendengarkan. Ia hadir.

Begitulah seharusnya kita, menjadi gambaran kasih Tuhan bagi anak. Jadi, sahabat keluarga... Lain kali saat anak menangis, tarik napas dulu. Tanyakan dalam hati: “Aku mau marah, atau aku mau mengarahkan?”

Karena mungkin, saat itu anak kita sedang berkata dalam tangis: “Aku nggak tahu harus bagaimana, tolong bantu aku.” Dan orang tua yang hadir, yang sabar, adalah hadiah yang luar biasa dalam hidup anak.

Saya ingin menutup dengan Amsal 15:1: “Jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman, tetapi perkataan yang pedas membangkitkan marah.” Ayat ini bukan hanya untuk hubungan antar orang dewasa. Ini juga berlaku untuk kita, orang tua, saat menghadapi anak kecil yang menangis. Mari kita belajar menjawab dengan lemah lembut. Karena anak-anak kita layak tumbuh dalam cinta, bukan ketakutan.

Posting Komentar