Saat Anak Mulai Menjauh: Fase Kritis yang Sering Tak Terucapkan

Table of Contents

Di banyak keluarga, khususnya dalam budaya Indonesia, anak-anak tumbuh besar di bawah pengasuhan yang penuh keterlibatan orang tua. Diantar ke sekolah, ditemani ke toko buku, hingga diberi arahan dalam memilih teman atau jurusan kuliah. Namun, ada satu titik di mana semua itu mulai berubah.

Anak yang dulu bergantung mulai ingin jalan sendiri. Mereka tidak lagi minta diantar, mulai jarang meminta bantuan, dan perlahan membangun dunianya sendiri bersama teman-teman. Bagi anak, ini adalah bentuk kemerdekaan dan pertumbuhan. Tapi bagi orang tua, ini bisa terasa seperti perpisahan yang diam-diam, sunyi tapi menggores.

Dalam fase ini, tidak jarang terjadi ketegangan. Anak merasa butuh ruang untuk menjadi dirinya sendiri, sementara orang tua merasa diabaikan. Jika tidak ada komunikasi yang terbuka, relasi ini bisa berubah menjadi medan konflik emosional. Yang lebih menyakitkan, kadang bukan hanya terjadi jarak... tapi berubah menjadi ketegangan yang berlarut, bahkan permusuhan.

Masa Transisi yang Kritis

Perpisahan batin ini bukan hal sepele. Ketika anak mulai mandiri, sebenarnya ia sedang membentuk identitasnya. Ia belajar mengambil keputusan sendiri, menentukan nilai yang ia pegang, dan sering kali menguji batas yang dulu ditentukan oleh orang tua.

Namun bila sejak kecil hubungan dibangun di atas pola kontrol dan tuntutan tanpa ruang dialog, fase ini bisa menjadi ledakan emosional. Anak yang selama ini menurut karena takut, bisa tiba-tiba menjadi oposisi. Ia merasa harus memutus ikatan agar bisa menjadi dirinya sendiri. Dan di situlah orang tua bisa merasa ditolak atau bahkan dikhianati.

Di sinilah letak krisisnya: orang tua masih berada dalam peran sebagai pelindung dan pengarah, sementara anak ingin diperlakukan sebagai individu dewasa. Ketika dua kebutuhan ini tidak bertemu di tengah, lahirlah konflik.

Budaya Kita dan Relasi yang Terlihat Baik-Baik Saja

Dalam budaya kita, anak sering kali tinggal bersama orang tua hingga menikah. Namun tinggal serumah tidak menjamin kedekatan emosional. Banyak keluarga yang terlihat harmonis di luar, namun di dalam menyimpan jarak dan luka yang tak pernah dibicarakan. Hormat sering kali ditafsirkan sebagai diam. Kepatuhan dianggap sebagai cinta.

Padahal cinta sejati membutuhkan ruang untuk tumbuh dan berdialog. Anak yang mulai dewasa butuh merasa dihargai sebagai pribadi yang berpikir dan bisa menentukan pilihan. Sementara orang tua pun perlu waktu untuk bertransisi—dari pengatur, menjadi pendamping.

Apa yang Bisa Dilakukan?

1. Buka Ruang Bicara:

Jangan menunggu anak "berubah" atau "kembali baik". Mulailah percakapan dari hati ke hati. Dengarkan tanpa langsung mengoreksi. Kadang yang dibutuhkan bukan solusi, tapi pengakuan.

2. Sadari Perubahan Peran:

Orang tua bukan lagi pengendali utama hidup anak. Peran berubah menjadi saksi dan pendukung. Ini bukan kehilangan kuasa, tapi bentuk tertinggi dari cinta.

3. Ajarkan Anak tentang Pulang:

Meski anak menjauh karena ingin mandiri, pastikan ia tahu bahwa rumah bukan sekadar tempat tinggal. Rumah adalah tempat di mana ia selalu diterima. Tidak harus disetujui, tapi dihargai.

4. Rawat Kedekatan Sejak Dini:

Relasi yang sehat dibangun sejak anak kecil. Tapi tak ada kata terlambat untuk memulainya. Bahkan anak dewasa pun tetap ingin dipahami dan diterima.

Penutup: Perpisahan Tak Harus Jadi Luka

Menjadi orang tua bukan soal mengikat anak agar tetap tinggal, tapi membekalinya agar bisa pergi tanpa kehilangan arah.

Dan menjadi anak bukan berarti membebaskan diri dari orang tua, tapi memahami bahwa kemandirian bisa berdampingan dengan kedekatan.

Perpisahan adalah bagian dari pertumbuhan. Tapi jangan biarkan ia menghapus kehangatan. Karena sejauh apapun langkah kaki, setiap anak butuh tahu bahwa ia bisa pulang.

Posting Komentar