Stereotip dalam Mengasuh Anak: Mengapa Peran Ibu dan Ayah Harus Setara

Daftar Isi

Dalam banyak keluarga, terutama di masyarakat yang masih kental dengan nilai-nilai patriarki, pengasuhan anak masih dianggap sebagai wilayah domestik milik ibu. Ibu dianggap lebih lembut, lebih sabar, dan secara “alami” lebih mampu memahami kebutuhan anak. Sebaliknya, ketika ayah terlibat dalam mengurus anak, mengganti popok, memberi makan, atau menidurkan, hal itu kerap dianggap luar biasa. Padahal, itu seharusnya hal biasa.

Kalimat seperti, “Wah, ayahnya hebat banget ya mau bantuin jaga anak” mungkin terdengar seperti pujian, namun sebenarnya mengandung stereotip: bahwa tugas mengasuh anak bukanlah tanggung jawab ayah, melainkan tugas ibu yang kadang dibantu oleh ayah. Ini bukan hanya tidak adil, tapi juga menempatkan beban emosional dan fisik yang berat pada ibu, serta merampas kesempatan ayah untuk terlibat secara utuh dalam kehidupan anak.

Ketika Ayah Hanya “Membantu”

Penggunaan kata “membantu” dalam konteks ayah yang terlibat dalam pengasuhan sudah menandakan relasi yang tidak setara. Membantu berarti melakukan sesuatu yang bukan kewajiban utama kita. Jika pengasuhan anak adalah tanggung jawab bersama, maka keterlibatan ayah seharusnya bukan bantuan, melainkan bagian dari peran utamanya sebagai orang tua.

Stereotip ini menjadi semakin bermasalah ketika ibu berhalangan, karena sakit, bekerja, atau kelelahan, dan ayah tidak terbiasa mengambil alih tugas rumah dan anak. Akibatnya, rumah menjadi berantakan, anak-anak tidak terurus sebagaimana mestinya, dan tekanan kembali jatuh ke pundak ibu.

Ketika Ayah Take Over, Rumah Tetap Jalan

Yang menarik, ketika ayah mulai mengambil alih sebagian besar pengasuhan karena kebutuhan situasional, misalnya istri sakit pasca persalinan, atau harus bepergian jauh, banyak yang terkejut karena ternyata rumah tangga tetap berjalan dengan baik. Anak-anak tetap sehat dan bahagia. Suami mulai memahami kesibukan dan kelelahan harian istri. Dan relasi pasangan justru menjadi lebih dekat karena keduanya bisa saling menghargai peran masing-masing.

Inilah bukti bahwa kemampuan mengasuh bukan soal jenis kelamin, melainkan soal kesediaan belajar, empati, dan keterlibatan emosional. Anak tidak membutuhkan figur yang sempurna, tapi kehadiran yang utuh, dari ayah maupun ibu.

Beban Mental yang Tak Terlihat

Salah satu aspek penting dalam pengasuhan adalah beban mental (mental load). Ibu bukan hanya melakukan tugas secara fisik, tetapi juga mengatur semua kebutuhan anak: jadwal imunisasi, pakaian sekolah, makanan sehat, hingga kegiatan ekstrakurikuler. Banyak ayah yang merasa sudah "membantu" karena sesekali mengganti popok atau menjemput anak, namun tidak menyadari bahwa beban mental tetap ditanggung istri sepenuhnya.

Ketimpangan ini bisa membuat ibu merasa sendirian dalam menjalani peran sebagai orang tua, meski secara kasat mata, suami terlihat “peduli”.

Mengapa Pengasuhan Bersama Itu Ideal?

1. Membangun ikatan emosional yang kuat

Anak yang merasakan kehadiran fisik dan emosional dari kedua orang tuanya akan tumbuh lebih percaya diri dan merasa aman.

2. Meningkatkan kerja sama dan penghargaan antar pasangan

Ketika suami dan istri saling berbagi tugas pengasuhan, empati dan apresiasi terhadap satu sama lain akan tumbuh secara alami.

3. Menghilangkan beban yang timpang

Dengan keterlibatan ayah secara penuh, ibu tidak harus merasa selalu menjadi pusat kendali rumah tangga. Ini penting untuk menjaga kesehatan mental dan emosionalnya.

4. Memberikan contoh baik bagi anak

Anak-anak belajar dari apa yang mereka lihat. Ketika mereka melihat bahwa ayah dan ibu berbagi peran secara adil, mereka akan membawa nilai-nilai kesetaraan ini ke dalam kehidupan mereka kelak.

Solusi: Edukasi dan Transformasi Pola Pikir

Stereotip dalam pengasuhan tidak bisa diubah dalam semalam, tapi bisa dimulai dari hal-hal kecil:

Gunakan bahasa yang setara: Hindari kata “membantu” untuk keterlibatan ayah. Katakan “ayah sedang mengasuh” atau “ayah sedang menyiapkan makan siang untuk anak-anak”.

Libatkan ayah sejak awal: Sejak masa kehamilan, biasakan suami ikut hadir dalam pemeriksaan kandungan, berdiskusi tentang pola asuh, dan mempersiapkan keperluan bayi.

Bagi tanggung jawab secara jelas: Buat jadwal atau sistem kerja sama yang adil, misalnya siapa yang menggantikan popok, siapa yang menyiapkan sarapan, siapa yang menemani tidur siang.

Tingkatkan kesadaran lewat komunitas dan media: Edukasi tentang pengasuhan bersama harus digaungkan di media, kelas pranikah, bahkan khutbah keagamaan, agar menjadi nilai yang diterima luas.

Penutup: Anak Membutuhkan Ibu dan Ayah, Bukan Salah Satunya

Pengasuhan adalah tanggung jawab dua pihak yang setara. Ketika ibu dan ayah berjalan berdampingan dalam mendidik dan merawat anak, keluarga akan tumbuh dalam harmoni dan keseimbangan. Mari hentikan pujian semu terhadap ayah yang sekadar “membantu”, dan mulai rayakan kolaborasi yang nyata antara dua orang tua yang sama-sama belajar menjadi lebih baik. bukan karena peran tradisional, tapi karena cinta yang setara.

Posting Komentar