Stereotip Peran Tradisional Suami Istri: Mengapa Perlu Dikaji Ulang?

Daftar Isi

Pembagian peran suami istri secara tradisional telah lama menjadi bagian dari kehidupan rumah tangga di banyak budaya, termasuk Indonesia. Suami dianggap sebagai pencari nafkah utama, sementara istri bertugas mengurus rumah dan anak-anak. Sekilas pembagian ini tampak alami, bahkan "ideal", karena sesuai dengan peran yang telah dibentuk secara sosial selama bertahun-tahun. Namun, dalam praktik modern, pembagian peran yang kaku ini justru bisa menjadi sumber ketimpangan, konflik, bahkan menyumbat pertumbuhan emosional dan profesional pasangan.

Akar Stereotip: Budaya dan Harapan Sosial

Pembagian peran ini bukan tanpa dasar. Dalam sistem patriarki yang mendominasi banyak masyarakat, laki-laki dibentuk untuk menjadi pemimpin dan penyedia, sementara perempuan dididik untuk menjadi pendamping dan pengurus domestik. Dalam banyak keluarga, sejak kecil anak perempuan diajarkan memasak dan mengurus adik, sementara anak laki-laki lebih dibebaskan untuk mengejar cita-cita di luar rumah.

Ketika nilai-nilai ini terbawa ke dalam pernikahan, maka muncul ekspektasi-ekspektasi tertentu: suami wajib bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan keluarga, sedangkan istri diharapkan mendampingi, mengatur rumah tangga, dan mengurus anak tanpa banyak keluhan.

Ketimpangan yang Terselubung

Permasalahannya muncul ketika realitas tidak berjalan semulus harapan. Istri yang juga bekerja di luar rumah sering kali tetap memikul beban rumah tangga sendirian. Beban ganda ini tak jarang menimbulkan kelelahan fisik dan emosional. Dalam banyak kasus, kontribusi istri sebagai pencari nafkah tidak dilihat setara, bahkan dianggap “tambahan” saja, bukan bagian dari peran utama.

Sebaliknya, suami yang tidak menjadi pencari nafkah utama — karena misalnya kehilangan pekerjaan, atau istri memiliki penghasilan lebih besar — sering merasa rendah diri karena tidak memenuhi stereotip sebagai "pemimpin ekonomi". Hal ini bisa memicu krisis identitas dan ketegangan dalam hubungan.

Saat Peran Tak Lagi Relevan

Dalam masyarakat modern yang semakin terbuka, banyak pasangan yang mulai mempertanyakan ulang pembagian peran tradisional ini. Istri bisa jadi memiliki potensi besar dalam dunia profesional, sementara suami justru memiliki kepekaan dan keterampilan mengurus anak yang lebih tinggi. Dalam situasi seperti ini, pergeseran peran bukan hanya realistis, tetapi juga perlu untuk kesehatan relasi.

Namun sayangnya, tidak semua pasangan siap mental dan sosial untuk membalik peran. Tekanan keluarga besar, komentar lingkungan sekitar, hingga rasa malu di hadapan masyarakat bisa membuat pasangan tetap memaksakan diri menjalani peran tradisional yang sebenarnya tidak sesuai.

Menuju Relasi Setara

Kuncinya adalah komunikasi yang jujur dan terbuka. Suami dan istri perlu membicarakan peran dan tanggung jawab berdasarkan kapasitas, minat, dan kondisi yang aktual, bukan berdasarkan stereotip atau warisan budaya semata. Kesetaraan dalam pernikahan bukan berarti semuanya harus sama persis, tetapi adil—sesuai kesepakatan dan saling menghargai.

Selain itu, pasangan juga perlu menyadari bahwa tidak ada satu model rumah tangga yang cocok untuk semua orang. Yang penting adalah bagaimana kedua belah pihak merasa dihargai, tidak dibebani secara tidak adil, dan bisa tumbuh bersama sebagai individu maupun sebagai pasangan.

Penutup: Mengganti Stereotip dengan Kesepakatan

Pembagian peran suami istri bukan masalah siapa yang lebih baik atau siapa yang lebih pantas, melainkan siapa yang lebih cocok dan rela mengambil tanggung jawab berdasarkan kondisi nyata. Ketika pasangan mampu keluar dari kungkungan stereotip, mereka akan menemukan cara hidup bersama yang lebih sehat, dinamis, dan memanusiakan satu sama lain.

Meruntuhkan stereotip memang tidak mudah. Tapi langkah kecil bisa dimulai dari rumah sendiri—dengan membuka pembicaraan, merancang ulang pembagian peran, dan saling menguatkan tanpa menilai dari standar lama yang sudah tidak relevan.

Posting Komentar