Tuhan Sudah Mati? Menjawab Warisan Pemikiran Nietzsche
Kalimat ini sering dikutip, bahkan dijadikan meme di
internet. Tapi mungkin kita tidak sadar, bahwa ini sebenarnya kutipan dari
seorang filsuf Jerman terkenal bernama Friedrich Nietzsche. Waktu pertama kali
saya dengar kalimat itu, rasanya seperti ditusuk sangat keras, menghujat. Tapi
makin saya selami, ternyata kalimat ini bukan sekadar provokasi kosong. Ia
mencerminkan pergolakan zaman. Dan jujur saja, pengaruh pemikiran ini masih
terasa sampai hari ini.
Nietzsche bukan orang sembarangan. Ia hidup di abad
ke-19, di Eropa yang sedang mengalami perubahan besar: ilmu pengetahuan
berkembang pesat, gereja kehilangan wibawa, dan banyak orang mulai
mempertanyakan makna hidup. Di tengah kekosongan itu, Nietzsche berkata, “Tuhan
sudah mati, dan kitalah yang membunuh-Nya.”
Tapi tunggu. Nietzsche tidak sedang bilang Tuhan
betulan mati, karena Tuhan memang hidup. Ia sedang bicara tentang bagaimana
manusia modern mulai hidup tanpa Tuhan—tanpa arah spiritual, tanpa standar
moral mutlak.
Buat Nietzsche, kematian Tuhan berarti manusia harus
menciptakan makna hidupnya sendiri. Tapi… bukankah itu justru membuka pintu
kehampaan? Lalu, apa hubungannya dengan kita hari ini? Banyak, sangat banyak.
Ketika kita lihat dunia sekarang: Orang lebih percaya
pada data daripada doa. Lebih memilih "jalan saya sendiri" daripada
tanya kehendak Tuhan. Lebih bangga dengan "bebas nilai" daripada
"hidup dalam kekudusan".
Pemikiran “Tuhan sudah mati” menyusup bukan dalam
bentuk perdebatan filsafat. Tapi dalam iklan, budaya populer, bahkan sistem
pendidikan. Seolah Tuhan tidak relevan. Seolah Tuhan hanya ada di ruang ibadah,
tapi tidak di ruang kerja, ruang keluarga, atau ruang hati kita. Dan yang lebih
menyedihkan, pemikiran ini pelan-pelan juga bisa masuk ke gereja. Ketika gereja
lebih sibuk membangun citra, daripada membina iman. Ketika gereja kehilangan
suara kenabiannya, hanya agar tidak disebut "terlalu rohani".
Jadi… bagaimana gereja harus meresponi ini?
Pertama,
dengan hidup yang otentik. Dunia tidak butuh ceramah moral. Dunia ingin
melihat: apakah Tuhan itu nyata dalam hidup kita? Apakah ketika kita gagal,
kita tetap punya harapan? Apakah ketika kita disakiti, kita masih bisa
mengampuni? Apakah ketika kita kaya, kita tetap rendah hati?
Kedua, gereja harus menjadi tempat dialog, bukan hanya
dogma. Banyak orang yang tidak percaya bukan karena mereka jahat, tapi karena
mereka tidak pernah mengalami Tuhan. Gereja perlu ruang untuk mendengarkan,
bukan hanya mengajar. Untuk memahami, bukan menghakimi.
Dan yang ketiga, kita harus berani menghidupi iman di
dunia nyata. Di sekolah, di kantor, di media sosial. Bukan dengan marah-marah,
bukan dengan slogan, tapi dengan kasih yang tulus dan keberanian yang lembut.
Nietzsche pernah berkata, “Tuhan sudah mati.” Tapi
saya percaya, Tuhan tidak mati. Tuhan tetap hidup. Ia hidup di tengah dunia
yang bimbang. Ia hidup melalui umat-Nya yang setia. Ia hidup di hati mereka
yang percaya.
Dan jika hari ini kita merasa dunia ini kehilangan
arah, ingatlah: Tuhan belum mati. Tapi mungkin, kita yang perlu hidup kembali
untuk-Nya. “Akulah jalan, dan kebenaran, dan hidup. Tidak ada seorang pun yang
datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” (Yohanes 14:6)
Posting Komentar
Karena saya percaya pengalaman Anda adalah berharga bagi keluarga lainnya.