Anak Melakukan Kesalahan Waktu yang Tepat Kita Introspeksi Diri
Sebagai seorang ibu berusia 40 tahunan yang sudah mendampingi anak-anak bertumbuh, saya makin sadar bahwa salah satu momen paling penting dalam mendidik anak justru hadir ketika mereka melakukan kesalahan. Bukan ketika semuanya berjalan sempurna, tetapi saat mereka jatuh, gagal, atau berbuat keliru.
Saudara, kita semua tahu,
anak-anak itu belajar dengan cara mencoba. Dan setiap kali mencoba, ada risiko
salah, gagal, atau tidak berhasil. Sayangnya, sebagai orang tua kita sering
kali terpancing untuk langsung marah. Entah karena rumah jadi berantakan,
pekerjaan bertambah, atau karena kita khawatir anak mengulang kesalahan yang
sama.
Padahal, kalau kita jujur,
bukankah kita pun sering salah? Kita pun tidak selalu sempurna, bahkan sebagai
orang dewasa. Lalu mengapa kita berharap anak kecil bisa selalu benar?
Kesalahan anak bukan tanda mereka nakal. Itu tanda mereka sedang belajar.
Saya teringat satu
pengalaman. Waktu anak saya masih TK, dia bersemangat ingin membantu saya di
dapur. Dia mencoba menuang air ke dalam gelas, tapi airnya tumpah ke mana-mana.
Saat itu ada dua pilihan: saya bisa langsung berkata, “Aduh, kamu bikin repot Mama
saja,” atau saya bisa berkata, “Wah, hampir berhasil. Yuk, kita coba lagi
pelan-pelan.”
Kalau saya memilih reaksi
pertama, anak mungkin akan mundur, tidak mau mencoba lagi, bahkan takut salah.
Tapi ketika saya memilih yang kedua, dia belajar bahwa kesalahan bisa
diperbaiki, dan belajar itu memang butuh waktu.
Itulah bedanya: marah menutup
pintu, empati membuka pintu. Setiap
kesalahan anak adalah cermin kesempatan bagi kita. Kesempatan untuk apa? Yah,
kesempatan untuk mengajarkan kesabaran. Kesempatan untuk menanamkan tanggung
jawab. Kesempatan untuk menunjukkan bahwa kasih kita tidak berubah meski mereka
salah.
Kalau anak menumpahkan susu,
kita bisa mengajaknya membersihkan bersama. Dari situ dia belajar konsekuensi.
Kalau anak mendapat nilai jelek di sekolah, kita bisa membimbingnya mencari
cara belajar yang lebih baik. Dari situ dia belajar tekun. Kita tidak sedang
membesarkan anak yang sempurna, tetapi membesarkan anak yang tangguh, rendah
hati, dan mau belajar.
Sebagai orang tua Kristen,
kita diingatkan bahwa Allah sendiri memperlakukan kita dengan sabar. Betapa
sering kita jatuh ke dalam kesalahan, namun kasih setia-Nya tidak pernah
meninggalkan kita.
Mazmur 103:13 berkata:
“Seperti bapa sayang kepada anak-anaknya, demikian TUHAN sayang kepada
orang-orang yang takut akan Dia.”
Kalau Bapa di surga begitu
sabar mendidik kita, bukankah kita pun dipanggil untuk sabar mendidik anak-anak
kita? Dengan kasih, dengan bimbingan, bukan dengan amarah yang melukai.
Akhirnya saudara, mari kita
ubah cara pandang kita. Kesalahan anak bukan alasan untuk marah, tetapi
undangan untuk mendidik. Saat mereka gagal, justru di situlah kesempatan
terbaik untuk menanamkan nilai, membangun karakter, dan memperlihatkan kasih
Kristus. Ingatlah, kita tidak bisa melindungi anak dari semua kesalahan, tetapi
kita bisa mengajarkan mereka bagaimana bangkit setelah salah.
Saya ingin menutup dengan
Firman Tuhan dari Amsal 24:16, “Sebab tujuh kali orang benar jatuh, namun ia
bangun kembali.” Mari kita bimbing anak-anak kita agar berani mencoba, tidak
takut salah, dan tahu bahwa mereka selalu bisa bangkit, karena ada kasih orang
tua dan penyertaan Tuhan.
Posting Komentar
Karena saya percaya pengalaman Anda adalah berharga bagi keluarga lainnya.