Apakah Dalam Pelayanan Butuh Profesional?
Kalau kita mau jujur, hidup ini penuh dengan rasa. Ada rasa senang, rasa marah, rasa kecewa, rasa jengkel. Dan sering kali, rasa itu datang di waktu yang tidak tepat.
Bayangkan… kita diminta melayani, mungkin menyanyi di
gereja, mungkin mengajar, mungkin memimpin doa. Tapi di hari itu, hati kita
sedang tidak enak. Ada masalah di rumah, ada konflik dengan seseorang, ada
perkataan yang melukai. Rasanya ingin sekali berkata: “Saya tidak sanggup.”
Ya, manusiawi memang. Kita semua punya perasaan. Tapi,
apakah itu berarti pelayanan harus berhenti? Apakah itu berarti kita boleh
seenaknya meninggalkan tanggung jawab?
Inilah pergumulan yang nyata. Hubungan bisa rusak,
pelayanan bisa terhenti, bahkan pekerjaan yang baik bisa gagal—semata-mata
karena kita lebih mengedepankan perasaan daripada tanggung jawab.
Perasaan itu penting, tapi bukan penguasa. Ya, perasaan
adalah bagian dari diri kita. Tidak mungkin diabaikan. Tapi kalau perasaan yang
mengendalikan, hidup kita jadi goyah. Hari ini semangat, besok murung. Hari ini
rajin, besok menyerah. Padahal, ada hal-hal yang harus kita kerjakan *bukan
karena perasaan kita sedang baik*, melainkan karena itu tugas yang dipercayakan
kepada kita.
Seorang perawat, misalnya, tidak bisa berkata: “Hari
ini saya sedang sakit hati, jadi saya tidak akan merawat pasien.” Seorang pilot
tidak bisa berkata: “Saya sedang kecewa, jadi saya tidak akan menerbangkan
pesawat.” Begitu juga dalam pelayanan. Kita tidak bisa berkata: “Saya lagi
tersinggung, jadi saya tidak mau melayani.”
Kalau semua orang melayani hanya ketika perasaannya
baik, maka pelayanan akan berantakan. Profesional itu artinya setia pada tugas.
Kata “profesional” bukan berarti dingin atau kaku. Profesional artinya kita
tahu apa yang menjadi tanggung jawab kita, dan kita setia melakukannya, apa pun
keadaan hati kita saat itu.
Apalagi dalam pelayanan. Pelayanan bukan tentang kita,
melainkan tentang Tuhan dan orang-orang yang kita layani. Kalau kita berhenti
hanya karena hati sedang terganggu, siapa yang akan mereka lihat? Mereka tidak
akan melihat Tuhan, tapi hanya melihat kita yang mudah goyah.
Alkitab mengingatkan dalam Kolose 3:23 “Apapun juga
yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan
bukan untuk manusia.” Ayat ini mengingatkan, pelayanan bukan soal mood, bukan
soal perasaan, tapi soal kesetiaan. Kita bekerja seolah-olah untuk Tuhan
sendiri. Dan kepada Tuhan, kita tidak bisa berkata: “Tuhan, saya lagi sakit
hati, jadi saya tidak mau melayani-Mu.”
Tentu, itu bukan berarti kita menekan perasaan.
Perasaan tetap perlu diproses, tetap perlu dipulihkan. Tapi jangan sampai
perasaan jadi alasan untuk meninggalkan tanggung jawab. Bagaimana caranya? Pertama,
belajar membedakan mana yang pribadi, mana yang pelayanan. Kalau kita marah
pada seseorang, jangan bawa kemarahan itu ke mimbar atau ke dalam pelayanan.
Pisahkan. Ada saatnya kita mengurus hati, ada saatnya kita mengurus tugas.
Kedua, belajar bersandar pada Tuhan. Justru di saat hati kita rapuh, pelayanan bisa menjadi momen di mana kita berkata: “Tuhan, saya lemah. Engkau yang kuat. Pakailah saya.” Itu membuat pelayanan kita bukan tentang diri, tapi tentang anugerah-Nya.
Ketiga, belajar mengampuni lebih cepat. Banyak
perasaan yang mengganggu datang dari sakit hati yang kita simpan. Kalau kita
mau profesional, kita harus belajar melepaskan. Semakin cepat kita mengampuni,
semakin ringan pelayanan kita.
Akhirnya saudara, perasaan itu penting, tapi jangan
biarkan ia merusak panggilan. Pelayanan bukan soal bagaimana hati kita hari
ini, tapi tentang kesetiaan kepada Tuhan yang sudah memberi kita kesempatan.
Mari kita belajar untuk tetap profesional dalam
pelayanan. Bukan berarti kita mengabaikan perasaan, tetapi kita menempatkannya
di tempat yang benar—di bawah kendali kasih Tuhan. Karena pada akhirnya, bukan
suasana hati yang menjadi ukuran, tetapi kesetiaan kita kepada Dia yang sudah
setia kepada kita.
Posting Komentar
Karena saya percaya pengalaman Anda adalah berharga bagi keluarga lainnya.