Bolehkah Membiarkan Anak yang Galau Bercerita Kepada Semua Orang?

Table of Contents

Saya ingin mengajak kita merenungkan sesuatu yang sangat dekat dengan kehidupan kita sebagai orang tua, khususnya para ibu saat anak-anak kita mengalami kekecewaan dan ingin mengungkapkan apa yang ingin diceritakan.

Kita tahu, masa remaja adalah masa yang penuh warna. Di satu sisi, anak-anak kita tampak begitu bersemangat, penuh mimpi, dan mulai mengeksplorasi dunia. Tapi di sisi lain, ada saat-saat di mana mereka terlihat murung, bingung, bahkan rapuh.

Saya ingin mengangkat satu contoh yang sering terjadi: anak remaja kita mengalami kekecewaan karena cinta. Entah cintanya ditolak, hubungannya kandas, atau mungkin hanya sekadar patah hati karena merasa tidak dianggap.

Bagi kita yang sudah dewasa, mungkin kita berpikir, “Ah, itu hal biasa, nanti juga sembuh.” Tapi bagi seorang remaja, itu bisa menjadi beban yang terasa sangat berat. Ia bisa gundah gulana, sulit tidur, bahkan kehilangan semangat untuk melakukan hal-hal yang biasanya ia sukai.

Dalam keadaan seperti itu, sering kali mereka ingin mencari pelarian. Dan salah satu bentuk pelarian adalah dengan bercerita. Mereka ingin ada yang mendengar, ada yang memahami, ada yang menampung rasa sakit mereka.

Lalu pertanyaannya: apakah kita membiarkan anak kita bercerita kepada sembarang orang? Saya percaya, tidak semua telinga itu aman. Tidak semua pendengar itu tulus. Ada yang mendengar untuk sekadar tahu, lalu menceritakan kembali kepada orang lain. Ada yang mendengar, tapi malah memberi komentar yang menyakitkan.

Karena itu, kita sebagai orang tua perlu mengarahkan, siapa sebenarnya yang layak menjadi pendengar atau penolong bagi anak kita.

Pertama, tentu orang tua sendiri. Saya yakin, rumah yang hangat selalu bisa menjadi tempat kembali. Anak mungkin tidak selalu mudah membuka diri, apalagi di masa remaja ketika mereka ingin terlihat kuat. Tapi jika kita, sebagai orang tua, mau mendengarkan tanpa menghakimi, tanpa langsung memberi ceramah, mereka akan merasa bahwa bercerita kepada ibu atau ayah adalah pilihan yang aman. Kadang mereka tidak butuh solusi instan. Mereka hanya butuh dipeluk dan didengarkan.

Kedua, sahabat yang benar-benar bisa dipercaya. Kita tidak bisa melarang anak untuk curhat kepada temannya. Itu bagian dari dunia mereka. Tapi kita bisa membekali anak untuk tahu, bahwa tidak semua teman bisa menjaga rahasia. Arahkan mereka agar memilih sahabat yang punya empati, yang bisa menyimpan cerita, bukan menyebarkannya.

Ketiga, figur dewasa yang bisa menjadi mentor atau pembimbing. Bisa seorang guru, seorang kakak yang dituakan, pembina rohani, atau bahkan seorang konselor. Anak remaja sering kali butuh sudut pandang yang lebih netral. Ada hal-hal yang mereka segan bicarakan dengan orang tua, tapi bisa mereka ungkapkan kepada sosok lain yang mereka percaya.

Jadi, bercerita memang penting. Tapi memilih kepada siapa kita bercerita jauh lebih penting. Karena telinga yang tepat bisa menjadi bagian dari proses penyembuhan, sementara telinga yang salah bisa menambah luka.

Sebagai seorang ibu, saya selalu berdoa semoga saya bisa menjadi tempat pertama yang diingat anak-anak saya ketika mereka merasa sedih. Tempat yang aman, tanpa takut dihakimi, tanpa takut dianggap lemah. Terlebih kita bisa menyarankan untuk berkeluh kesah kepada Tuhan, karena kata Pemazmur, “Aku mengasihi TUHAN, sebab Ia mendengarkan suaraku dan permohonanku. Sebab Ia menyendengkan telinga-Nya kepadaku, maka seumur hidupku aku akan berseru kepada-Nya” Mazmur 116:1-2.

Dan untuk para orang tua yang mendengarkan, mari kita ciptakan rumah yang penuh penerimaan. Agar anak-anak kita tidak perlu mencari sembarang telinga di luar sana, karena mereka tahu, di rumah selalu ada hati yang siap mendengar.

Terima kasih sudah mendengarkan. Semoga kita semua bisa menjadi pendengar yang tepat bagi anak-anak kita, dan bersama-sama membantu mereka melewati masa-masa sulit dalam hidupnya.

Posting Komentar