Jangan Cepat Menyimpulkan, Ketahui Dulu dan Dimengerti

Table of Contents


Bayangkan begini, Anda sedang berjalan di sebuah taman, lalu melihat seseorang duduk sendiri di sebuah bangku. Wajahnya murung, matanya menunduk. Apa yang langsung muncul di pikiran Anda?

Reaksinya bisa beragam. “Wah, orang ini pasti punya masalah besar.” Atau, “jangan-jangan dia habis dimarahi pasangannya.” Tapi, apakah benar begitu? Belum tentu. Bisa jadi ia hanya sedang merenung, atau bahkan sedang beristirahat sejenak setelah perjalanan panjang.

Kita, manusia ini, sering kali terburu-buru menyimpulkan sesuatu. Apalagi di zaman sekarang, ketika informasi begitu cepat beredar. Kita melihat sepenggal status di media sosial, mendengar sepotong cerita dari orang lain, lalu dengan mudah memberi cap, memberi label, bahkan menghakimi. Padahal, kebenaran jarang sekali sesederhana itu.

Saya sendiri pernah mengalami hal ini. Ada masa ketika orang melihat saya lewat tanpa senyum, lalu mereka menyimpulkan, “wah, orang itu sombong sekali.” Padahal, waktu itu saya sedang pusing tujuh keliling memikirkan keluarga yang sedang sakit. Tapi dari luar, yang tampak hanya wajah muram tanpa senyum. Itu membuat saya sadar, betapa sering orang lain salah menilai kita, dan sebaliknya, betapa sering juga saya salah menilai orang lain.

Sebenarnya mengapa kita cepat menyimpulkan? Ada beberapa alasan. Pertama, otak manusia suka jalan pintas. Kita tidak suka menunggu penjelasan panjang. Kita melihat sedikit bukti, lalu otak buru-buru melengkapi ceritanya.

Kedua, kita sering dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu. Kalau kita pernah bertemu orang yang bersikap tertentu, kita langsung mengaitkan pengalaman itu dengan orang baru, seolah-olah mereka sama.

Ketiga, kadang kita merasa lebih aman jika sudah punya kesimpulan. Karena ketidakpastian itu menakutkan, kita buru-buru menutup cerita dengan pemahaman kita sendiri.

Tapi bahayanya besar. Cepat menyimpulkan bisa melukai orang lain. Bisa membuat hubungan retak. Bisa menimbulkan salah paham yang panjang. Bahkan, dalam beberapa kasus, membuat kita kehilangan kesempatan untuk mengenal seseorang lebih dalam.

Pernahkah Anda mengalami salah paham dengan pasangan, anak, atau sahabat hanya karena buru-buru menyimpulkan? Misalnya, pasangan kita pulang terlambat. Pikiran kita langsung meloncat: “Pasti dia tidak peduli lagi sama keluarga.” Padahal, siapa tahu dia tertahan di jalan, atau sedang mengurus hal penting untuk kita.

Atau, anak kita terlihat malas belajar. Cepat sekali kita menyimpulkan: “Anakku tidak punya masa depan.” Padahal, bisa jadi dia sedang butuh cara belajar yang berbeda.

Lalu, bagaimana caranya supaya kita tidak mudah jatuh dalam perangkap ini? Pertama, latihlah untuk bertanya dulu sebelum menilai. Tanyakan, dengarkan, baru simpulkan. Kedua, beri waktu. Kadang kebenaran butuh waktu untuk muncul dengan sendirinya. Apa yang kita lihat hari ini belum tentu gambaran utuh. Ketiga, miliki hati yang penuh kasih. Kalau hati kita dipenuhi kasih, kita lebih pelan dalam menghakimi, lebih sabar dalam memahami.

Dalam Alkitab, Yesus pernah berkata dalam Yohanes 7:24: “Janganlah menghakimi menurut apa yang nampak, tetapi hakimilah dengan adil.” Ayat ini sederhana, tapi dalam. Kita diingatkan, jangan hanya menilai dari apa yang tampak di permukaan. Karena ada cerita, ada latar belakang, ada alasan yang mungkin tidak kita ketahui.

Tuhan sendiri, yang mengenal hati manusia, tidak cepat-cepat menjatuhkan vonis. Ia sabar, penuh kasih, dan menilai dengan adil. Maka, kalau kita mau meneladani-Nya, kita pun diajak untuk lebih lambat dalam menyimpulkan, dan lebih cepat dalam memahami.

Saudara, dunia sudah cukup penuh dengan salah paham. Jangan biarkan kita menambahinya dengan kesimpulan-kesimpulan yang terburu-buru. Lebih baik kita berhenti sejenak, belajar mendengar, belajar melihat lebih dalam.

Karena siapa tahu, di balik senyum yang hambar ada hati yang sedang berjuang. Di balik kata-kata singkat ada kasih yang sulit terucapkan. Dan di balik diam seseorang, ada doa yang tak henti ia panjatkan.

Jadi, jangan cepat menyimpulkan. Beri ruang bagi pemahaman, beri waktu bagi kebenaran, dan biarkan kasih menuntun cara kita melihat sesama.

Posting Komentar