“Dum Spiro Spero”: Harapan dan Paulus Menyempurnakannya

Table of Contents


Pernah mendengar kata ini? Dum spiro spero. Selama aku bernapas, aku berharap. Ya, kata-kata itu berasal dari dunia kuno, dunia yang penuh pergulatan, di mana manusia belajar menerima penderitaan sebagai bagian dari hidup, bukan kutukan. Cicero, seorang filsuf dan negarawan Romawi, menulis di tengah kehancuran republiknya. Ia melihat bangsanya berubah dari masyarakat bebas menjadi bangsa yang diperintah oleh kekuasaan mutlak.

Ia akhirnya kehilangan jabatan, kehilangan sahabat, bahkan kehilangan tanah air yang dicintainya. Namun di tengah reruntuhan itu, ia berkata “Selama aku bernapas, aku berharap.”

Bagi Cicero, harapan bukanlah emosi lembut atau penghiburan sementara. Harapan adalah tindakan moral, keputusan untuk tetap berdiri ketika dunia menolak kita berlutut. Harapan adalah akal budi yang berkata kepada hati, “Aku masih hidup. Dan selama itu, aku tidak akan menyerah pada kegelapan.”

Beberapa abad kemudian, seorang lain berbicara tentang hal yang sama,  tapi dengan cahaya yang berbeda. Namanya Paulus. Seorang yang juga pernah hidup di tengah dunia Yunani dan Romawi, dunia filsafat, dunia kekuasaan, dan dunia penganiayaan.

Paulus tahu benar bahasa Stoik, ia mengenal para pemikir yang mengatakan bahwa manusia harus tabah menghadapi nasib. Tetapi Paulus menemukan sesuatu yang lebih dalam: pengharapan yang berakar pada kasih, bukan sekadar keberanian manusia.

Dalam suratnya kepada jemaat di Roma, ia menulis, “Pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita.” (Roma 5:5)

Jadi Cicero berkata, Selama aku bernapas, aku berharap. Paulus menambahkan: Dan selama aku berharap, aku hidup di dalam kasih.

Saudara, kita hidup di dunia yang tidak jauh berbeda dengan dunia Cicero dan Paulus. Dunia yang penuh ketakutan, ketidakpastian, dan rasa kehilangan makna. Kadang kita seperti berjalan di antara reruntuhan, bukan reruntuhan kota, tapi reruntuhan hati. Ada yang kehilangan pekerjaan, ada yang kehilangan orang yang dicintai, ada yang kehilangan arah dan bertanya, “Untuk apa lagi aku bertahan?”

Dalam saat-saat seperti itu, kata-kata kuno itu kembali bergema di dada Dum spiro spero. Selama aku bernapas, aku berharap.

Tapi kini, dengan gema baru dari Perjanjian Baru, Pengharapan ini tidak mengecewakan, karena ia bersumber dari kasih yang tidak pernah padam.

Mungkin hari ini Anda sedang duduk di tengah kekecewaan. Mungkin Anda merasa doa-doa hanya menggema dalam ruang kosong. Atau mungkin Anda berpura-pura kuat, padahal di dalam dada, ada suara kecil yang nyaris menyerah. Ingatlah, Selama Anda bernapas, harapan belum mati.

 

Napas yang keluar dari tubuh Anda sekarang adalah napas yang sama yang diberikan Sang Pencipta di awal waktu. Dan setiap kali Anda menarik napas, Anda mengucapkan doa yang tak terdengar, “Aku masih hidup.” Atau “Aku masih berharap.”

Mungkin harapan itu kecil, seperti sebutir debu di antara reruntuhan, seperti nyala lilin di tengah badai. Tapi justru dari yang kecil itu, dunia pernah diselamatkan.

Jadi, jika hari ini engkau merasa kehilangan harapan, ingatlah kata-kata kuno itu: Dum spiro spero, selama aku bernapas, aku berharap. Dan dengarkan gema yang datang dari Perjanjian Baru: Pengharapan ini tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hatimu.

Selama engkau bernapas, engkau memikul tanggung jawab untuk terus percaya, untuk terus berbuat baik, untuk terus menyalakan terang, sekalipun dunia di sekitarmu gelap. Yah, Karena harapan tidak pernah mati. Ia hanya menunggu seseorang untuk mengingatnya.

Dan mungkin hari ini, orang itu adalah engkau. Dum spiro spero. Selama aku bernapas, aku berharap. Dan karena kasih itu hidup di dalamku, harapan ini tidak akan mengecewakan.

Posting Komentar