Ketika Panggung Bicara Menjadi Ujian Kerendahan Hati Bagi Pemimpin Rohani

Table of Contents

Ada hal menarik dari perjalanan seorang pembicara di depan umum, terutama bagi kita yang sering berdiri di mimbar. Semakin sering kita berbicara, semakin terasa bahwa tantangan terbesar bukan lagi pada kemampuan berbicara, tapi pada kesadaran hati, apakah kita masih sungguh-sungguh menghormati audiens seperti dulu, ketika pertama kali dipercaya untuk berbicara?

Banyak dari kita sudah terbiasa berbicara di depan orang lain. Kita mempersiapkan bahan, doa, dan pesan dengan sungguh-sungguh. Tapi perlahan, tanpa kita sadari, bisa muncul pergeseran kecil di hati: merasa sudah mahir, sudah berpengalaman, atau merasa tahu bagaimana membuat audiens terkesan. Di sinilah ujian kesadaran diri itu dimulai.

Ketika Hirarki Menggoda

Ada kalanya kita berbicara di depan orang-orang yang secara posisi mungkin kita anggap “di bawah”, entah itu jemaat biasa, tim pelayanan, atau anak muda di gereja. Nah, di titik ini sering kali muncul godaan yang halus:

“Ah, mereka pasti sudah tahu cara saya bicara.”

“Materinya tidak perlu baru, yang penting semangatnya.”

Tanpa terasa, kita mulai menurunkan kadar persiapan, bicara lebih santai, kadang mengulang hal yang sama seperti sebelumnya.

Padahal, audiens itu, siapa pun mereka, tetaplah pribadi yang berharga di mata Tuhan. Mereka datang bukan untuk mendengarkan rutinitas, melainkan untuk mendapatkan pesan baru yang meneguhkan hati.

Etika berbicara di depan publik, apalagi di mimbar, bukan hanya soal teknik, tetapi soal rasa hormat terhadap pendengar. Karena sesungguhnya, tidak ada audiens yang lebih rendah derajatnya dalam hal mendengar firman atau kebenaran.

Bahaya Keakraban yang Mengaburkan Fokus

Ada juga situasi lain yang sering membuat kita lengah: ketika audiens sudah sangat akrab. Mungkin teman-teman sepelayanan, atau jemaat yang sudah mendengar kita berkali-kali. Keakraban ini bisa membuat suasana hangat, tapi juga berisiko menurunkan kualitas pesan.

Kita bisa terjebak dalam kebiasaan, mengulang kisah lama, bercanda terlalu banyak, atau menyinggung hal-hal yang sudah pernah disampaikan. Dan tanpa sadar, pesan utama kehilangan kekuatan.

Padahal, setiap kali kita berdiri di mimbar, seharusnya itu menjadi momen baru, bukan pengulangan, tapi pembaruan. Karena setiap pendengar datang dengan hati yang berbeda, pergumulan yang baru, dan kebutuhan yang mungkin belum terjawab.

Kalau kita sendiri tidak memperlakukan momen itu dengan hormat, bagaimana mungkin pendengar bisa merasakan hadirat Tuhan di dalamnya?

Menjaga Kesadaran Hati Pembicara

Menjadi pembicara Kristen berarti kita memegang tanggung jawab besar: bukan hanya menyampaikan pengetahuan, tapi menyalurkan kehidupan. Karena itu, kesadaran diri harus dijaga dengan sungguh-sungguh.

Kesadaran bahwa:

- Aku tidak lebih tinggi dari audiensku.

- Aku bukan sumbernya, hanya saluran.

- Aku bukan yang paling tahu, tapi sedang sama-sama belajar.

Setiap kali kita berdiri di depan orang lain, baiklah kita mengingat: Tuhanlah yang empunya mimbar ini. Kita hanya pelayan yang dipinjam suaranya untuk sementara waktu.

Dengan kesadaran ini, maka rasa sombong, jenuh, atau merasa lebih hebat bisa ditekan oleh rasa syukur dan takut akan Tuhan. Sebab pada akhirnya, yang dinilai bukan seberapa hebat kita berbicara, melainkan seberapa tulus kita menyampaikan.

Saat Keakraban Bertemu Profesionalisme Rohani

Keakraban memang baik, membuat suasana hangat dan manusiawi. Tapi profesionalisme rohani berarti tetap menyiapkan diri sebaik mungkin, walaupun pendengarnya teman sendiri. Karena yang kita layani bukan manusia semata, tapi Tuhan yang hadir di antara manusia.


Maka, setiap kesempatan berbicara adalah ibadah. Persiapannya adalah bentuk doa, penyampaiannya adalah bentuk pelayanan, dan refleksinya setelah selesai adalah bentuk pertobatan, agar kita semakin peka dan rendah hati.

Mungkin benar, ada audiens yang kita anggap “lebih rendah”. Tapi Tuhan tidak pernah melihat begitu. Yang rendah, yang muda, yang sederhana, bisa saja justru menjadi alat Tuhan untuk menegur kita. Sebab Tuhan sering berbicara lewat orang yang tidak kita sangka.

Penutup

Berbicara di depan umum adalah anugerah, tapi juga ujian. Ujian bagi hati kita, apakah masih rendah hati, apakah masih bergantung kepada Tuhan, dan apakah masih menghargai setiap jiwa yang mendengar.

Maka, setiap kali kita berdiri di depan mimbar, baiklah kita berkata dalam hati: “Tuhan, tolong aku, supaya aku tidak hanya pandai bicara, tapi juga sungguh menjadi saksi-Mu.” Karena sejatinya, pembicara yang baik bukanlah yang selalu mengesankan, tapi yang selalu menyentuh hati pendengar dan memuliakan Tuhan melalui kata-katanya.

Posting Komentar