Perlukah Kita Memilihkan Teman untuk Anak-anak Kita?

Table of Contents


Saya masih ingat waktu anak saya pertama kali pulang dari sekolah dan berkata, “Ma, aku punya teman baru!” Nada suaranya penuh semangat, matanya berbinar. Dan sebagai orang tua, tentu kita ikut senang, bukan? Karena anak yang bisa bersosialisasi berarti sedang bertumbuh.

Tapi seiring waktu, kita mulai menyadari, tidak semua teman membawa pengaruh yang baik. Ada teman yang lembut dan jujur, tapi ada juga yang suka berbohong, atau kasar. Dan di sinilah pergumulan kita dimulai,  yaitu bagaimana menolong anak memilih teman yang benar, tanpa membuatnya merasa dikendalikan.

Anak usia 7–10 tahun sedang berada di masa penting dalam pembentukan karakter sosialnya. Mereka mulai membandingkan diri dengan teman, mulai ingin diterima, dan mulai mencari “siapa aku di antara mereka.”  Teman menjadi cermin dan guru kehidupan bagi anak.

Apa yang dilihat, ditiru. Apa yang diterima, dianggap benar. Itulah sebabnya, peran kita bukan untuk “memilihkan” teman anak, tapi membimbing mereka mengenali seperti apa teman yang baik. Kita tidak bisa selalu ada di samping anak saat dia bermain di sekolah, di gereja, atau di lingkungan rumah. Tapi kita bisa menanamkan prinsip agar ia punya semacam kompas moral di dalam hatinya.

Saudara, saya pernah belajar dari pengalaman pribadi. Dulu, waktu anak saya sering bermain dengan teman yang agak keras tutur katanya, naluri saya langsung menolak. Rasanya ingin berkata, “Jangan main sama dia lagi!” Tapi saya tahu, kalimat seperti itu justru akan membuat anak menjauh dari kita, bukan dari temannya.

Anak perlu merasa bahwa kita menghargai pilihannya, baru dia mau mendengarkan pendapat kita. Jadi saya mencoba pendekatan yang lebih lembut. Saya tanya, “Nak, kamu senang main sama dia karena apa?” Dan saya dengarkan. Setelah itu saya bertanya lagi, “Kalau temanmu bicara kasar begitu, kamu merasa nyaman atau enggak?”

Pertanyaan seperti itu membuat anak berpikir sendiri, bukan karena dipaksa, tapi karena dibantu memahami. Pelan-pelan, ia belajar membedakan mana yang membuatnya bertumbuh, dan mana yang membuatnya goyah.

Saudara, kadang, orang tua terlalu cepat menghakimi teman anak sebelum mengenal lebih jauh. Padahal, bisa jadi anak kita bukan hanya butuh teman baru, tapi juga sedang belajar memahami perbedaan karakter orang lain.

Kita perlu menciptakan suasana rumah yang terbuka. Tempat di mana anak merasa aman untuk bercerita tentang teman-temannya,  tanpa takut diomeli atau disalahkan. Semakin anak merasa diterima, semakin mudah bagi kita menanamkan nilai.

Ya, kita bisa mulai dengan kebiasaan sederhana, seperti berbincang di waktu makan malam, “Tadi kamu main sama siapa?” Atau “Apa yang kamu pelajari dari temanmu hari ini?” Dan bahkan bisa bertanya dengan santai, “Kalau kamu jadi temannya, apa yang kamu ingin orang lain lihat dari kamu?”

Percakapan sederhana seperti ini bisa jadi momen pembentukan hati. Kita bukan sedang menilai, tapi sedang menuntun.

Akhirnya, teman yang baik adalah anugerah, tapi hikmat dalam memilih teman adalah hasil didikan. Itulah sebabnya peran kita begitu penting,  bukan untuk memilihkan jalan anak, tapi untuk menunjukkan arah yang benar. Dalam Amsal 13:20 tertulis, “Siapa bergaul dengan orang bijak menjadi bijak, tetapi siapa berteman dengan orang bebal menjadi malang.”

Jadi marilah kita menanamkan dalam hati anak bahwa setiap pertemanan adalah kesempatan, kesempatan untuk berbagi kasih, bertumbuh dalam kebaikan, dan memuliakan Tuhan lewat hubungan yang sehat. Tuhan memberkati setiap orang tua yang hari ini sedang menuntun anaknya berjalan di jalan pertemanan yang benar.

Semoga hikmat dan kasih dari Tuhan sendiri memimpin setiap langkah kita.

Posting Komentar