Saat Anak Menderita: Kalau Bisa Biar Saya Menggantikan Penderitaannya

Table of Contents


Bagaimana perasaan kita sebagai orang tua saat melihat anak kita sakit dan menderita. Saya yakin banyak dari kita pernah mengucapkan kalimat ini dalam hati, "Kalau bisa, biar aku saja yang sakit. Biar aku saja yang menanggung rasa sakit anakku." Yah, itu meru[akan kalimat yang lahir dari kasih sayang paling dalam seorang ibu atau ayah kepada anaknya.

Tapi suatu hari, saya teringat pada sebuah hal yang sempat saya dengar dan membaca dalam panduan keselamatan penerbangan. Ketika pramugari menjelaskan langkah-langkah jika terjadi keadaan darurat, ada satu kalimat yang terdengar agak aneh di telinga saya waktu itu. Katanya, “Jika Anda bepergian dengan anak, pasang masker oksigen pada diri Anda terlebih dahulu, baru bantu anak Anda.”

Awalnya saya berpikir, kok terdengar egois, ya? Bukankah seharusnya anak yang diselamatkan duluan? Tapi setelah saya renungkan lebih jauh, ternyata ada makna yang sangat dalam di balik instruksi itu. Jika orang tua tidak terlebih dahulu memastikan dirinya bisa bernapas dan berpikir jernih, maka bagaimana mungkin bisa menolong anak? Bagaimana bisa menyelamatkan anak kalau diri sendiri sudah lemas, panik, atau kehilangan kesadaran?

Lalu saya menyadari, prinsip itu bukan hanya berlaku di dalam pesawat. Prinsip itu berlaku juga dalam kehidupan sehari-hari, terutama ketika anak kita sakit, menderita, atau sedang menghadapi masa sulit. Sebagai orang tua, kita sering larut dalam penderitaan anak. Kita menangis, khawatir, bahkan kehilangan tenaga. Padahal, justru di saat-saat itulah anak membutuhkan kita berdiri kuat.

Bukan berarti kita tidak boleh sedih, tentu saja boleh. Tapi kesedihan itu tidak boleh mengambil alih seluruh diri kita sampai membuat kita tidak bisa berfungsi.

Saya belajar, bahwa berdiri kuat bukan berarti menolak air mata. Tapi setelah air mata itu jatuh, kita menghapusnya, menarik napas panjang, dan berkata dalam hati, "Yah, aku harus kuat, karena ada seseorang kecil yang butuh aku tetap sadar, tetap ada, dan tetap beriman."

Kadang, anak yang sakit justru melihat ke arah orang tuanya untuk mencari tanda bahwa semuanya akan baik-baik saja. Ketika kita panik, mereka ikut takut. Tapi ketika kita tersenyum dan berkata, “Kamu akan sembuh, Nak. Ibu di sini.” ada keajaiban yang pelan-pelan bekerja. Keyakinan itu menular. Harapan itu menenangkan.

Saya sering mengaitkannya dengan sisi rohani hidup kita. Mungkin Tuhan tidak meminta kita menggantikan penderitaan anak, karena itu bukan peran kita. Tapi Tuhan memberi kita kekuatan untuk menjadi penopang, menjadi tangan yang menolong, dan hati yang menenangkan. Kita tidak diminta menjadi pahlawan yang menghapus sakitnya, tapi menjadi sumber kasih yang membuat anak punya alasan untuk bertahan.

Pernah satu kali, ketika anak saya sakit cukup lama, saya merasa hancur. Saya menangis hampir setiap malam, berdoa supaya Tuhan mengambil saja rasa sakit itu dan memindahkannya ke tubuh saya. Tapi malam itu, seperti ada suara kecil dalam hati yang berkata, "Kamu tidak diminta menggantikan sakitnya. Kamu diminta kuat, agar dia bisa sembuh melalui tanganmu."

Sejak saat itu saya belajar menata hati. Saya belajar bahwa menjadi orang tua tidak selalu tentang berkorban secara fisik, tapi juga tentang menjaga batin tetap kokoh. Karena kalau kita tumbang, anak kehilangan penyangga utamanya. Dan ketika kita kuat, anak bisa meniru kekuatan itu, walau dalam bentuk sederhana, seperti tersenyum walau sedang kesakitan.

Saudara, mungkin hari ini ada di antara kita yang sedang mendampingi anak sakit. Saya tahu rasanya berat, bahkan kadang membuat hati retak. Tapi percayalah, kasihmu yang tetap sabar, doamu yang tak putus, dan ketenanganmu saat menatap mata anakmu, semua itu adalah obat juga. Obat yang tidak dijual di apotek mana pun, tapi bekerja melalui cinta seorang ibu atau ayah.

Maka kalau suatu hari kita ingin berkata, “Biar aku saja yang sakit,” ubahlah kalimat itu pelan-pelan menjadi, “Biar aku yang kuat, supaya anakku bisa sembuh.” Karena di situlah kasih sejati menemukan bentuknya yang paling dalam, bukan dengan menggantikan penderitaan, tapi dengan menjadi sumber kekuatan bagi yang kita kasihi.

Posting Komentar