Kenapa Anak-Anak Tidak Suka Makanan Rumahan? Antara Pergeseran Zaman, Selera, dan Makna di Meja Makan
Ketika Masakan Ibu Tak Lagi Diminati
Hampir setiap keluarga pernah mengalami momen ini: sang ibu dengan penuh cinta memasak makanan yang dikiranya akan disukai anak-anak, namun hasilnya justru tak disentuh. Sebaliknya, anak-anak lebih memilih makanan yang dipesan lewat aplikasi online, lebih berwarna, kekinian, dan terasa “modern”.
Bagi orang tua, hal ini tentu menimbulkan tanda tanya besar. Mengapa anak-anak tidak bisa menikmati makanan sederhana seperti yang kita makan dulu? Dulu, mencium bau ikan asin saja sudah cukup membangkitkan selera makan. Tapi kini, anak-anak malah menutup hidung.
Pergeseran Budaya: Dari Tradisi ke Tren
Perubahan selera makan ini bukan hanya soal lidah, tetapi soal budaya.
Bagi generasi terdahulu, makanan rumahan seperti sayur bening, tempe goreng, atau sambal terasi memiliki makna emosional. Itu bukan sekadar rasa, tapi juga aroma masa kecil, kehangatan keluarga, dan kebersamaan di meja makan.
Sebaliknya, anak-anak masa kini tumbuh dalam budaya yang berbeda. Makanan bukan lagi bagian dari tradisi keluarga, tetapi bagian dari gaya hidup. Mereka lebih tertarik pada makanan yang sedang viral di media sosial, yang tampilannya menarik dan memiliki unsur “modernitas”.
3. Dimensi Psikologis: Antara Pilihan dan Otonomi
Dulu, kita makan apa yang disediakan orang tua, tanpa banyak pilihan.
Sekarang, dunia anak-anak penuh dengan alternatif: dari ayam goreng Korea, pizza, hingga rice bowl kekinian, semua bisa dipesan dengan satu sentuhan jari.
Maka, ketika anak-anak menolak makanan rumahan, sering kali itu bukan sekadar “tidak suka”, melainkan bentuk kecil dari otonomi. Mereka ingin punya kendali atas diri sendiri, termasuk dalam urusan makanan.
Lidah yang Dibentuk oleh Paparan Rasa
Selera bukan bawaan lahir, melainkan hasil dari pengalaman berulang.
Kita terbiasa mencium aroma ikan asin, bawang goreng, atau sambal karena itu bagian dari masa kecil kita. Anak-anak sekarang justru terbiasa mencium aroma keju, daging panggang, dan saus barbeque. Itulah “ikan asin” versi mereka.
Maka, ketika anak-anak tidak tergoda oleh aroma masakan rumahan, bukan berarti mereka manja. Mereka hanya tidak punya memori rasa yang sama seperti kita.
Makan Bersama yang Mulai Menghilang
Dulu, makan bersama adalah ritual harian keluarga, momen berbagi cerita dan kehangatan. Kini, ritme hidup membuat makan sering dilakukan terpisah: anak makan sambil belajar, ayah makan di kantor, ibu makan setelah semua selesai.
Akibatnya, nilai emosional dari “masakan ibu” perlahan memudar. Makanan rumahan tak lagi menjadi simbol kebersamaan, melainkan sekadar pilihan di antara banyak pilihan lain.
Membangun Jembatan di Meja Makan
Sebagai orang tua, tentu muncul rasa kecewa ketika masakan penuh cinta tak tersentuh. Namun mungkin sudah saatnya kita membangun jembatan baru di meja makan, bukan dengan paksaan, tetapi dengan pemahaman.
Beberapa cara sederhana bisa dilakukan:
• Libatkan anak dalam memasak. Saat mereka ikut menyiapkan bahan dan bumbu, keterikatan emosional terhadap makanan meningkat.
• Gabungkan tradisi dan tren. Misalnya, buat nasi goreng dengan topping keju mozzarella, atau sayur sop dengan bumbu modern.
• Ceritakan kisah di balik makanan. Anak-anak sering lebih tertarik ketika tahu kenapa masakan itu penting bagi keluarga.
• Jadikan waktu makan sebagai momen kebersamaan. Tak perlu sempurna, yang penting hangat dan penuh makna.
Menutup dengan Refleksi
Zaman boleh berubah, tapi nilai-nilai di meja makan tidak harus hilang. Anak-anak bukan kehilangan selera makan, mereka hanya kehilangan makna yang dulu melekat pada makanan itu.
Mungkin tugas kita sekarang bukan sekadar membuat mereka makan, tapi menumbuhkan kembali makna rumah di setiap suapan.
Kesimpulan
Perbedaan selera makan antara orang tua dan anak-anak adalah cermin dari pergeseran zaman. Alih-alih menolak perubahan, mari kita jadikan makanan sebagai bahasa baru untuk saling memahami. Karena pada akhirnya, bukan apa yang kita makan yang terpenting, melainkan dengan siapa kita makan, dan makna cinta yang tersaji di dalamnya.

Posting Komentar
Karena saya percaya pengalaman Anda adalah berharga bagi keluarga lainnya.