Ketika Cinta Tak Bisa Berjalan dengan Autopilot: Refleksi Tentang Perubahan Setelah Menikah
Ketika Cinta Tak Bisa Berjalan dengan Autopilot
“Kamu kok nggak seperti dulu, ya?”
Pertanyaan sederhana ini sering muncul dalam hubungan yang telah berjalan lama. Di baliknya, tersimpan rindu, kecewa, dan juga harapan. Ia bukan hanya tentang perubahan perilaku, tapi tentang jarak emosional yang perlahan tercipta tanpa kita sadari.
Pertanyaan itu pernah pula ditujukan kepadaku. “Kamu dulu begitu perhatian. Di setiap kesempatan, kamu memegang tanganku dan mengelus dengan lembut.”
Aku terdiam waktu mendengarnya. Dalam hati, justru muncul pertanyaan balik: iya, kenapa ya? Kapan terakhir kali aku benar-benar menatap pasangan dengan kasih seperti dulu? Sejak kapan kesibukan, rutinitas, dan rasa aman membuatku lupa bahwa cinta pun perlu dirawat?
Aku baru sadar, mungkin selama ini aku terlalu yakin bahwa cinta bisa berjalan sendiri. Aku mengira perasaan yang sudah kuat tidak akan luntur meski tanpa disirami perhatian. Bahwa cinta yang pernah dibangun dengan indah akan terus berlanjut tanpa harus diupayakan setiap hari.
Ternyata aku keliru.
Cinta bukan mesin yang bisa bekerja otomatis. Ia seperti taman: kalau tidak disiram dan dijaga, lambat laun akan ditumbuhi rumput liar. Kadang kita tak sadar kapan rumput itu tumbuh, ketika sapaan mulai jarang, ketika pelukan hanya jadi rutinitas tanpa makna, atau ketika keheningan makan malam terasa lebih sering daripada tawa bersama.
Aku bersyukur, pasanganku masih tetap setia di saat aku tak memedulikan cinta itu. Ia tetap berada di sisiku, meski mungkin hatinya sempat bertanya, “Masihkah aku dicintai seperti dulu?” Ia menjadi cermin yang membuatku merenung: mungkin aku terlalu percaya pada autopilot cinta, seolah hubungan akan selalu berjalan baik-baik saja tanpa kemudi.
Padahal, tak ada autopilot dalam pernikahan. Yang ada hanyalah dua hati yang saling belajar mengarahkan kembali arah perjalanan ketika badai datang. Kadang satu menarik kemudi, kadang yang lain menenangkan ombak. Dan justru di sanalah cinta diuji, bukan ketika segalanya manis, tapi ketika kita mau bertahan meski lelah.
Menikah bukan akhir dari perjuangan cinta, melainkan awal dari perjalanan panjang untuk terus mengenal, memahami, dan menyesuaikan diri. Kita berubah, pasangan pun berubah. Maka cinta yang bertahan bukanlah cinta yang statis, melainkan cinta yang terus diperbarui setiap hari, lewat perhatian kecil, komunikasi yang jujur, dan keberanian untuk kembali menghangatkan yang sempat dingin.
Kini aku belajar kembali untuk tidak menganggap cinta sebagai sesuatu yang otomatis bekerja. Aku ingin mulai dari hal-hal sederhana: menggenggam tangan lebih sering, mendengarkan lebih dalam, dan mengucap terima kasih atas kehadiran yang setia. Karena ternyata, kebahagiaan bukan hasil dari perjalanan yang sempurna, melainkan dari kesediaan kita menjaga kemudi bersama, agar cinta tetap sampai di tujuan.
Kesimpulan reflektif
Cinta yang dianggap bisa berjalan sendiri seperti autopilot akan perlahan kehilangan arah. Namun, ketika dua orang mau kembali menyalakan kesadaran untuk merawat dan memperhatikan satu sama lain, cinta justru menemukan makna terdalamnya: bukan tentang perasaan yang stabil, melainkan tentang kesetiaan untuk terus tumbuh bersama.

Posting Komentar
Karena saya percaya pengalaman Anda adalah berharga bagi keluarga lainnya.