Lockdown, PSBB, atau Tidak: Ibadah Minoritas Selalu Jadi Musuh Nomor Satu

Daftar Isi

(Satir Gelap tentang Pelarangan Ibadah yang Tak Pernah Berhenti)

Pembuka: Nostalgia Masa COVID yang Tidak Indah

Kita pernah mengira bahwa "semua orang beribadah di rumah saat COVID" adalah kisah toleransi sempurna. Tapi ternyata, di Indonesia, pelarangan ibadah itu seperti cicak: bisa hidup di segala musim—bahkan di tengah pandemi sekalipun!

  • 2020: Warga di suatu daerah melaporkan gereja rumah ke polisi karena "melanggar protokol kesehatan". Padahal, mereka cuma 5 orang pakai masker.

  • 2021: Seorang pendeta dipanggil aparat karena streaming kebaktian dianggap "mengumpulkan orang secara terselubung".

  • 2022: COVID mulai mereda, gereja rumah kembali digerebek—kali ini alasannya bukan virus, tapi "tidak ada izin warga".

COVID datang dan pergi, tapi satu yang tetap: ibadah minoritas selalu salah, entah bagaimana caranya.

  • Logika yang Dipakai:

    • "Kalau banyak orang = bahaya COVID. Tapi kalau sedikit orang = bahaya pemurtadan. Jadi, lebih baik larang saja!"

2. Kreativitas Aparat dalam Melarang Ibadah

Alasan-alasan klasik yang berevolusi sesuai zaman:

  • Era Normal: "Tidak ada izin warga!"

  • Era COVID: "Melanggar PSBB!"

  • Pasca-COVID: "Ini bisa memicu kericuhan!"

Kesimpulan: "Daripada repot cari alasan, lebih baik pasang plang: 'DILARANG BERIBADAH—TANPA KECUALI.'"

3. Solusi Absurd (Karena Negara Tidak Mau Bertindak)

Jika pelarangan ibadah tidak pernah berhenti, mungkin kita perlu:

  1. Mengganti istilah "gereja rumah" jadi "klinik rohani" (biar dikira vaksinasi).

  2. Mengadakan kebaktian di metaverse (tapi nanti dituduh "sekte digital").

  3. Meminta bantuan alien (siapa tahu mereka punya UU anti-diskriminasi yang lebih baik).

Penutup: Lelucon yang Semakin Tidak Lucu

Kita bisa tertawa membaca satire ini, tapi realitanya:

  • Negara konsisten dalam satu hal: tidak konsisten menegakkan keadilan.

  • COVID bukan musuh terbesar—tapi mentalitas "kami boleh, kalian tidak" lah yang abadi.

Jadi, kapan kita benar-benar bebas beribadah?
Mungkin saat kita sudah punya presiden robot yang tidak takut demo massa.

Catatan:
"Artikel ini ditulis sambil menunggu izin ibadah dikeluarkan—kurang lebih 300 tahun lagi."

Peristiwa tersebut pernah ditulis di bawah ini:

Diakui atau tidak virus Corona memaksa semua orang untuk tidak melakukan pertemuan-pertemuan dengan skala besar untuk menghindari penularan COVID-19 tersebut antar manusia. Dampaknya adalah salah satunya tidak melakukan ibadah Bersama-sama di gedung gereja. Hal ini sedikit banyak memaksa orang dalam hal ini jemaat untuk melepaskan ketergantungan penuh dalam pelaksaan ibadah tersebut hanya kepada panduan yang diselenggarakan oleh pihak gereja. 

Keluarga Kristen yang baru saja viral oleh karena didatangi oleh dua orang oknum untuk menghentikan ibadah secara online di rumah mereka. Tidak sedikit yang membela keluarga tersebut dengan menghubungkan kebebasan untuk beribadah dan menyoal himbauan pemerintah untuk melakukan ibadah di rumah. Namun di antara pendukung muncul beberapa pihak yang menyoal pelaksanaan ibadah tersebut?

Kalau memperhatikan mereka yang mendukung pelarangan tersebut dengan alasan, ada pengumpulan orang dalam arti ada keluarga lain yang datang untuk ikut dalam ibadah tersebut. Walaupun keluarga lain itu masih kerabat, namun dianggap hal tersebut masih dalam bentuk pengumpulan orang. Kalau bicara keadilan tentu saja alasan ini dibuat-buat, namun penulis tidak mau terjebak dalam kontradiksi tersebut karena akan masuk ke ranah politik.

Tapi untuk sekedar diketahui saja bahwa memang dasar beribadah bersama itu adalah persekutuan. Jaman gereja mula-mula menjadi kuat karena adanya persekutuan untuk saling menguatkan, saling memperhatikan, dan saling mendorong untuk melakukan hal yang baik seperti yang diungkap dalam Ibrani 10:24. Dan ayat 25 lebih spesifik mengingatkan supaya tidak meninggalkan pertemuan-pertemuan ibadah, karena pertemuan-pertemuan itulah menjadi ajang untuk saling menguatkan , saling menasehati.

Situasinya saat ini memang berbeda di mana coronavirus untuk sementara waktu menghentikan diadakannya pertemuan-pertemuan dalam skala besar itu. Seperti anjuran pemerintah untuk mengadakan ibadah di rumah. Tetapi yang namanya sifat dasar dari kekristenan adalah berinteraksi satu dengan yang lain untuk saling mengasah, mengasihi dan bersosial tentu hal ini terasa berat. Bahkan dianggap ada yang kurang ketika beribadah di rumah itu kurang afdol bila melakukan sendiri, lepas dari ketidak siapan mengadakan ibadah mandiri. Persekutuan seperti menjadi urat nadi dari kekristenan.

Sebenarnya beberapa waktu lalu sebelum menyebarnya COVID-19 terdengar kabar kalau ada gereja atau persekutuan yang menggunakan media online untuk beribadah, namun tetap saja kurang laku. Sekarang ketika virus Corona merebak dan disarankan untuk melakukan ibadah di rumah dan melalui online, maka persekutuan itu terus memanggil. 

Pembatasan pertemuan memang bisa dilakukan, tapi kerinduan untuk hidup bersama dalam persekutuan dan ibadah sebagai sebuah kekuatan selalu merusak individualistic. Jadi, bila ada oknum yang melakukan pelarangan untuk melakukan ibadah di rumah bagi keluarga-keluarga Kristen, yakinlah hal tersebut tidak akan pernah mempan. Kerinduan untuk selalu bertemu tidak bisa dihindari. 

Posting Komentar