Mengomeli anak terkadang dilakukan oleh orang tua yang melihat anaknya melakukan yang tidak sesuai dengan keinginan. Mengomel biasanya mengungkapkan perasaan kesal dan otomatis yang keluar adalah kata-kata yang memancing kemarahan anak. Padahal ada resiko anak yang sering diomeli.
Mengomel sendiri adalah ungkapan marah yang diikuti oleh banyak kata-kata di dalamnya ada menggerutu, bersungut-sungut dengan perasaan jengkel. Makanya omelan yang mendapatkan respon negatif dari anak, akan membangkitkan kemarahan lebih yang malah berakibat negatif terhadap anak.
Mengomeli anak? Wow, tema yang sebenarnya menjadi pembahasan yang menyangkut kebiasaan banyak orang tua ketika menghadapi perilaku anak. Tidak sedikit orang tua menjadi lupa diri dengan kebiasaan mengomel ini. Dikatakan kebiasaan, sering kali mengomel malah jadi pekerjaan harian ketika menghadapi anak yang berlaku tidak sesuai dengan apa yang diinginkan.
Tapi,
ngomong-ngomong apa orang-orang tertentu saja yang terkadang tampil menjadi orang tua yang sering lepas kontrol menjadi pengomel kepada anak-anak? Hayo ngaku,
siapa saja ibu-ibu yang terkadang ngomel kepada anak-anak kita?
Saya merasa penting berbicara
mengenai mengomeli anak ini ketika saya membaca sebuah buku menarik berjudul, Children
Learn What They Live, buah karya Dorothy Law Nolte dan Rachel Harris.
Untuk diketahui saja Dorothy Law Nolte seorang pendidik dan ahli konseling
keluarga cukup dikenal luas dalam dunia pendidikan berkat puisinya yang banyak
dipampang di tempat-tempat pendidikan. Kalau ada waktu, silahkan Anda
mencarinya di google mengenai puisi hebatnya tersebut. Dan dalam buku yang
sudah saya singgung tersebut salah satunya berbicara mengenai mengomel
tersebut.
Mengomeli anak biasanya muncul
karena kita merasa tidak puas dan diungkapkan dengan kata-kata yang
terus-menerus. Mengomel biasanya didorong oleh perasaan kesal atau marah karena
kita menganggap ada sesuatu yang salah dengan anak kita. Kapan hari saya mengomel
ke anak karena waktu pagi dia kesulitan untuk bangun, padahal menurut saya
seharusnya dia sudah cepat-cepat mandi dan menyiapkan semua untuk segera
berangkat ke sekolah. Saya mengomel sambil marah dengan menghubungkan sulitnya
bangun itu dengan hal-hal lain yang belum tentu juga benar perkiraan saya.
Kira-kira omelan saya itu,
hari sudah siang, masih enak-enakan tidur. Nanti kalau sudah mepet waktunya
buru-buru mandi. Kamu main hp semalam atau apa kok bangunnya susah banget.
Kata-kata saya terus meluncur tak ada jeda, dengan menyambung dari tema yang
satu ke tema lainnya. Tapi, saya akhirnya menyesal dengan omelan saya ketika
anak saya awaktu akan berangkat, ia mengatakan; “Aku tadi malam sampai larut
karena ada tugas mendadak yang harus dikerjakan.”
Biasanya diksi yang dipilih dalam omelan cenderung negatif dan sebagai pentuk tekanan kepada anak. Kembali kepada buku tulisan Dorothy Law Nolte memberi masukan, ketimbang kita mengomel kepada anak lebih baik kita menetapkan hal-hal yang bersifat rutin tersebut dengan perkiraan hal tersebut bisa dilakukan atau katakanlah masuk akal. Hal lain yaitu perlunya kita sebagai orang tua dalam memilih kata-kata yang bermakna positif ketimbang ucapan-ucapan yang negatif kepada anak.
Kalau dipikir-pikir, benar
juga ya, ketimbang kita mengomel tak tentu arah yang belum tentu ucapan kita
diperdulikan dan bisa didengar dengan baik. Tapi bisa saja omelan kita malah
menyakitkan hati anak-anak kita yang berakibat hati anak-anak menjadi tawar.
Anak-anak yang sering diomeli bisa saja menganggap orang tua tidak punya solusi selain hanya menggerutu dan marah. Anak akhirnya bisa kenal dengan sifat asli kita sebagai orang tua yang selalu marah, bila dirinya salah. Dan jangan salah bila kita sebagai orang tua dilabeli sebagai orang tua pemarah, yang ditakuti.
ORANG TUA YANG DITAKUTI MENUTUP KOMUNIKASI
Dulu anak-anak dianggap baik ketika merasa takut dengan orang tua. Anak yang selalu mengatakan ia, dan tidak pernah berani membantah dianggap sebagai sebuah kepatuhan yang akan dipuji-puji. Padahal, kalau anak merasa takut dengan orang tua, itu seperti menutup pintu komunikasi antar orang tua dan anak. Kedekatan antara orang tua dan anak seharusnya dipertahankan sejak dini.
Kalau anak masih kecil yang sering digendong, sering dicium dan secara fisik begitu dekat, seharusnya menurut berjalankan waktu orang tua terus mempertahankan kedekatan tersebut hingga dewasa. Tentu saja, polanya dan caranya berbeda. Jangan membuat jarak dengan anak karena anak merasa ketakutan oleh karena sikap kita yang negatif kepada anak.
Sering mengomeli anak tentu saja akan membuat anak merasa takut, dan otomatis ketika anak sudah mulai takut kepada orang tua, orang tua telah membangun tembok. Kalau temboknya tidak terlalu tinggi, mungkin masih mending, tapi kalau temboknya setiap hari terus kita bangun, maka lama-lama ada jarak yang bisa jauh dengan anak.
Mempertahankan komunikasi dan hubungan, baik secara spikis, maupun fisik sangat penting guna menjaga hubungan antara orang tua dan anak. Dan bila kita sering melontarkan omelan kepada anak, itu akan menjadikan anak sedikit demi sedikit akan menjauh. Karena sering kali omelan itu tidak mengenakkan perasaan anak. Omelan, apalagi bila setiap persoalan yang muncul selalu diberangi dengan omelan, maka anak akan meihat omelan menjadi pola yang dipakai orang tua kepada anak. Resiko anak yang sering diomeli akan menjadikan anak membuat jarak dengan orang tua dan cenderung tidak percaya dengan orang tua.
0 comments:
Posting Komentar