Siapa yang Lebih Dominan dalam Sebuah Hubungan?

Daftar Isi

Siapa yang lebih dominan dalam sebuah hubungan antara suami dan istri dalam rumah tangga? Suami atau istri?

Setiap keluarga pasti berbeda-beda dalam menjawab pertanyaan siapa yang paling dominan dalam rumah tangga. Tapi ngomong-ngomong bicara tentang dominan itu harus jelas pengertiannya, supaya tidak kabur dalam menganalisa, siapa yang paling dominan dalam keluarga kita? Dominan di sini tentu bukan sebagai bentuk dari siapa yang menjadi kepala keluarga dalam rumah tangga kita. Karena kalau bicara kepala keluarga tentu kita akan langsung menunjuk sosok laki-laki, dalam hal ini suami. Tapi arti dominan di sini lebih kepada sikap "penguasa" di mana segala keputusan ada di tangannya, dan yang lain harus tunduk dan patuh apapun keputusan yang diambil.

Makanya menjadi penting juga untuk menelisik dominan yang memiliki arti paling punya pengaruh, unggul dan paling menonjol. Nah, dalam konteks hubungan suami istri, maka sikap dominan punya arti dialah yang paling unggul dalam keluarga, punya pengaruh kuat dalam keluarga dan dalam banyak hal, termasuk dalam pengambilan keputusan. Pasangan tidak punya kesempatan untuk mengajukan pendapat, walaupun bisa mengutarakan usulan hanya sebagai sebuah informasi, dan selebihnya, keputusan tetap kepada yang dominan.

Dari Mana Datangnya Dominan dalam Keluarga?

Pola hubungan dalam keluarga dibangun dari sejak awal dan bahkan bisa saja sudah tercipta sejak pernikahan belum terjadi, atau dalam masa pacaran. Banyak faktor yang bisa menciptakan sosok dominan. Bisa jadi dominan muncul dalam keluarga terbangun karena adanya perbedaan antara suami dan istri dalam berbagai hal. Salah satunya bisa dalam bentuk perbedaan status sosial, pendidikan, dan ekonomi pasangan tersebut. Misalnya, seseorang bisa menjadi dominan karena merasa dirinya datang dari keluarga secara ekonomi berada.

Tapi dominan bisa terjadi karena bisa saja ada pihak yang mengambil posisi "lemah" karena faktor dirinya tidak memiliki sesuatu untuk diandalkan. Misalkan dalam soal ekonomi keluarga di mana dirinya merasa tidak banyak turut andil dalam kebutuhan keluarga. Ataupun kalau ada andil, dirinya merasa bahwa penghasilan lebih kecil dan seterusnya.

Namun ada faktor lain di mana dominan dalam keluarga bisa saja menjadi "bawaan" dari keluarga sebelumnya di mana sudah terbentuk dari keluarga asal, sehingga hal tersebut dibawa dalam rumah tangga yang dibangun. Nah, dominan ini bisa saja pada awal-awal pernikahan atau masih dalam periode bulan madu masih bisa ditolerir, tapi bila dominan itu terus berlanjut, maka pasangannya akan merasa capek, lelah dan tidak punya pilihan lain dan akhirnya menyerah.

Satu hal lagi mengapa sifat dominan bisa timbul dalam sebuah keluarga oleh salah satu pasangan, karena bisa saja, pasangan membiarkan sifat dominan itu tumbuh dan membiarkan hal tersebut terus berlangsung. Bila hal itu terjadi, sekali lagi hubungan suami dan istri tersebut harus ada yang dikorbankan sebagai pihak yang selalu "nrimo".

Tapi bisa saja dominan itu terjadi karena pasangan tidak pernah berani mengambil keputusan dalam banyak hal, sehingga pihak yang dominan merasa perlu untuk tampil sebagai pihak yang dominan. Misalkan, seorang suami yang sering tidak banyak mengambil keputusan dalam berbagai hal rumah tangga, sehingga istri merasa tidak sabar untuk mengambil peran untuk tampil ke depan dan "mengganti" suami untuk mengambil keputusan. Dan bisa saja hal tersebut terus berlangsung dalam setiap menghadapi persoalan.
  
Apa Risiko Dominan dalam Hubungan Suami Istri?

Bila dominan terjadi dalam sebuah hubungan suami dan istri, hingga dalam hal yang paling kecil sekalipun akan menimbulkan banyak persoalan dalam hubungan tersebut. Dominan terhadap pasangan akan menimbulkan matinya sikap kreativitas pasangan karena merasa, bahwa bukan urusannya lagi setiap ada persoalan keluarga. Ia akan selalu menunggu dan menyerahkan setiap persoalan yang muncul. Dan dalam batas tertentu ia akan selalu ketakutan jika dimintai pendapat karena selalu mengandalkan pasangan yang dominan tadi.

Hal lain yang bisa terjadi adalah, sikap merasa tidak dihargai sebagai pasangan, dan teman hidup, merasa diabaikan dalam setiap masalah yang muncul, atau bahkan dirinya akan merasa seperti boneka saja sebagai teman hidupnya. Misalkan, untuk menentukan akan pergi berlibur ke mana, dan bersama siapa dan seterusnya, hal tersebut oleh pihak yang dominan semuanya sudah diputuskan. Dan ingat, bisa saja pasangan merasa, "Aku pernah ke sana, tempat itu membosankan." Atau juga, kalau pergi dengan orang-orang tersebut, nanti akan ada masalah dan seterusnya. Tapi karena sudah diputuskan, ia dipaksa untuk menerima, walaupun merasa tidak nyaman.

Paling berbahaya dengan pasangan yang dominan adalah, membentuk pasangannya bergantung sepenuhnya kepada pasangannya dalam semua hal tentang keluarga. Dan bahayanya di sini adalah ketidakmampuan untuk bersikap mandiri dan tidak berani mengambil keputusan sendiri karena dirinya sudah terbiasa "diatur" oleh pasangan. Dalam batas-batas tertentu pasangan dalam kondisi seperti itu bisa menciptakan yang dominan itu menjadi pihak yang superior, sementara yang lain mengambil sikap inferior.

Makanya, tidak ada untungnya bila sebuah pasangan hidup dalam sebuah hubungan antara suami dan istri dengan sikap dominan ini, karena hal tersebut bisa menimbulkan kerugian bagi keduanya. Apa kerugian jika sikap dominan itu terjadi? Keduanya akan merasa lelah secara mental dalam menjalin hubungan tersebut. Yang mengambil sikap dominan akan lelah karena selalu bersikap harus mengontrol setiap persoalan keluarga termasuk pasangan. Sebaliknya, pihak yang dikontrol akan kelelahan karena tertekan, dan tidak bisa menjadi diri sendiri.

Bagaimana Jalan Keluar dari Hubungan Tidak Sehat?

Menurut banyak pakar hubungan suami istri, supaya bisa keluar dari setiap persoalan keluarga kuncinya hanya satu, yaitu komunikasi, komunikasi dan komunikasi. Hubungan yang sehat adalah hubungan yang bisa berbagi, termasuk berbagi pendapat, berbagai gagasan, berbagi pemikiran dan berbagi perasaan. Sikap berbagi ini tidak akan tercipta bila salah satu dari pasangan dominan terhadap yang lain.

Tidak ada kata terlambat untuk menciptakan sebuah hubungan yang baik bagi suami dan istri. Awalnya pasti berat dan sulit untuk mencoba menurunkan ego dan mulai berbagi dengan pasangan dalam banyak hal. Berbagi waktu untuk mendengarkan pasangan, berbagi perasaan di mana pasangan bisa menceritakan apa yang ada dalam benaknya. Berusaha mencari tahu apa yang menjadi keinginan pasangan. Semua itu bisa menjadi langkah awal untuk memberikan ruang bagi pasangan dan melepaskan dominasi dalam keluarga.

Sebaliknya pihak yang merasa inferior mulai mencari cara yang baik bagaimana membangun sebuah suasana untuk bisa mengungkapkan apa yang menjadi perasaannya selama ini. Carilah momen di mana pasangan sedang posisi "nyaman" untuk kita berbicara dan mengutarakan pendapat. Berlatihlah untuk bisa memberikan pandangan yang masuk akal tentang apapun. Mulailah dengan hal-hal yang ringan terlebih dahulu, tentang anak-anak, tentang hasil pekerjaan harian dan seterusnya.

Mulailah membangun komunikasi dua arah di mana yang satu mau mendengarkan dari pihak yang ingin didengarkan, dan berusahalah untuk menahan diri untuk tidak melakukan interupsi. Mendengarkan merupakan pekerjaan yang berat, tapi belajarlah untuk memberikan telinga dan hati bagi pasangan.

Bangunlah sebuah komunikasi di mana masing-masing pihak untuk berbagi peran dalam keluarga. Yakinkan pasangan bahwa semua tanggung jawab yang kita lakukan akan dilakukan dengan baik dengan membagi hasilnya kepada pasangan untuk sekedar diketahui bersama. Jika terjadi berbedaan, jangan langsung mengeluarkan perkataan yang menyerang, tapi cobalah untuk melihat dari sudut pandangnya, bukan dari sudut pandang kita sendiri. Karena siapa tahu dia memiliki maksud lain dari apa yang kita perkirakan.

Posting Komentar