Ketika Kita Berkata Tapi Tidak Benar-Benar Mengatakannya
Pernahkah kita mengatakan sesuatu, tapi dalam hati kita tahu itu bukan yang sebenarnya kita maksudkan? Mungkin kita bilang, “Nggak apa-apa kok,” padahal dalam hati kita lagi jengkel setengah mati. Atau kita jawab, “Iya, aku setuju,” hanya karena kita tidak mau bikin ribut, padahal jelas-jelas kita punya pendapat lain.
Ini sesuatu yang, jujur saja, sering kita lakukan. Bahkan mungkin setiap hari. Dan kalau dipikir-pikir, kenapa ya kita begitu sering nggak jujur sama orang lain, bahkan sama diri sendiri?
Kalau mau kita jujur, yang benar-benar jujur ya alasan utamanya adalah: kita takut. Takut menyinggung. Takut ditolak. Takut dianggap aneh. Takut kelihatan lemah. Kita begitu sibuk menjaga kesan, sampai-sampai kita lupa menjaga kebenaran dari apa yang ingin kita sampaikan.
Kita belajar dari kecil, dari lingkungan, dari budaya, bahwa "ngomong apa adanya" itu bisa jadi berbahaya. Bisa bikin orang marah. Bisa bikin hubungan renggang. Maka kita pilih jalur aman. Kita ubah kata-kata, kita haluskan, kita tutupi. Padahal, seringkali yang kita butuhkan bukan kata-kata yang menyenangkan…. tapi kata-kata yang jujur.
Masalahnya, ketika kita terlalu sering berkata tidak sesuai dengan maksud, kita perlahan kehilangan keaslian kita. Komunikasi jadi semacam permainan tebak-tebakan. Kita tidak benar-benar hadir, kita hanya memainkan peran yang kira-kira bisa diterima.
Dan ini, jujur, melelahkan.
Lalu, bagaimana cara keluar dari pola ini?
Yang pertama adalah kesadaran. Coba perhatikan dalam percakapan kita. Waktu kita bilang “iya”, apakah kita benar-benar setuju? Atau kita hanya ingin cepat-cepat menyelesaikan obrolan? Waktu kita bilang “nggak apa-apa”, apakah memang benar-benar nggak apa-apa? Atau kita cuma belum berani mengakui bahwa kita sedang kecewa?
Kalau kita bisa menangkap momen itu, ya, momen di mana kita sedang tidak jujur, itu langkah awal yang penting.
Yang kedua, kita perlu keberanian. Karena jujur itu tidak selalu nyaman. Tapi kejujuran yang disampaikan dengan empati bisa membuka ruang yang luar biasa. Kamu bisa bilang, “Aku belum siap jawab sekarang,” atau “Sebenarnya aku agak beda pendapat, tapi aku ingin dengar dulu pendapatmu.” Ini bukan soal menjadi kasar, tapi soal menjadi nyata.
Dan yang ketiga, kita perlu membiasakan diri untuk tidak tahu. Untuk ragu. Untuk jujur pada ketidaksiapan kita sendiri. Karena, sering kali, tekanan untuk terlihat “pasti” dan “mantap” membuat kita mengucapkan hal-hal yang tidak kita yakini. Padahal, ada kekuatan dalam berkata, “Aku nggak tahu.” Ada kelegaan dalam berkata, “Aku belum yakin.” Dan ada kejujuran yang menyelamatkan dalam berkata, “Aku takut berkata sejujurnya, tapi aku ingin belajar.”
Bayangkan kalau lebih banyak orang bisa bicara seperti itu—terbuka, apa adanya, tapi tetap menghormati satu sama lain. Relasi kita mungkin tidak selalu mudah, tapi setidaknya, kita tahu kita sedang berbicara dengan manusia yang sungguh hadir, bukan topeng yang sedang bermain peran.
Dan kalau kita berpikir, “Tapi aku nggak biasa kayak gitu,” itu wajar. Karena belajar berkata jujur sesuai maksud itu seperti belajar bicara lagi. Kita terbiasa bicara untuk menyenangkan, untuk bertahan, bukan untuk menyampaikan isi hati. Tapi justru karena itu, penting untuk mulai sekarang. Pelan-pelan. Satu kalimat jujur. Satu keberanian kecil. Satu percakapan yang lebih nyata. Dalam Matius 5:37 Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat.
Karena dunia ini, kita semua, butuh lebih banyak keaslian. Butuh lebih banyak suara yang tidak hanya terdengar, tapi juga tulus. Dan itu… bisa dimulai dari kita yang jujur.
Posting Komentar
Karena saya percaya pengalaman Anda adalah berharga bagi keluarga lainnya.