Pemberontakan Sunyi Seorang People Pleaser: Ketika Menjadi Diri Sendiri Adalah Dosa Terbesar

Daftar Isi


Hidup saya, sejak kecil, dibentuk dalam kerangka untuk menjadi “anak baik”. Bukan hanya karena nilai moral atau tuntutan agama, tapi karena kondisi. Saya dibesarkan bukan dalam keluarga sendiri, sebuah lingkungan yang baik dan penuh aturan, tapi bukan milik saya sepenuhnya. Maka untuk bisa diterima, saya harus berjuang.

Dan perjuangan itu tidak selalu berupa kerja keras. Kadang, ia berupa penyesuaian tiada henti: menahan tangis, menunda marah, menyembunyikan luka, dan di atas semuanya, menjadi orang yang menyenangkan. Itu adalah tiket agar saya tak dianggap beban. Agar saya tetap boleh tinggal, tetap dianggap bagian.

Begitulah awal dari pembentukan diri saya sebagai people pleaser. Dan semuanya berjalan dalam diam. “Jangan Menolak, Jangan Merepotkan, Jangan Membuat Masalah

Dalam dunia batin saya yang sunyi, ada tiga aturan yang ditanam sejak dini: jangan menolak, jangan merepotkan, dan jangan membuat masalah. Saya pun tumbuh menjadi pribadi yang terlalu peka pada kebutuhan orang lain, tapi tumpul pada perasaan sendiri. Saya pandai membaca situasi, tapi tidak pandai membaca hati saya sendiri.

Namun yang menarik, dalam diam saya menyimpan bara. Saya tidak melawan dengan suara keras. Saya hanya menyimpan ingatan bahwa satu hari nanti, saya akan punya pilihan. Dan pilihan itu datang saat saya memasuki masa SMA.

Saat Pemberontakan Terjadi dengan Tenang

Ketika saya diwajibkan masuk sekolah agama, saya diam-diam memilih sekolah umum. Tidak berbasis agama, tidak satu garis dengan harapan keluarga. Saya tahu itu bentuk pemberontakan, tapi saya tidak menyesalinya. Karena untuk pertama kalinya, saya merasa memilih sesuatu untuk diri saya sendiri.

Tapi itu belum berakhir.

Saya berasal dari lingkungan religius, dengan paham keagamaan yang kuat dan tradisional. Dalam kerangka itu, berpindah agama adalah pilihan ekstrem. Tapi itulah yang saya lakukan. Bukan karena kebencian, bukan pula demi membuat orang lain sakit hati. Saya hanya ingin merdeka menjadi diri sendiri.

Dan ironisnya, di titik inilah saya sadar: menjadi diri sendiri adalah dosa terbesar di mata mereka yang mencintaimu dengan syarat.

Ketika Bersuara Menjadi Bentuk Penerimaan Diri

Perjalanan saya tak berhenti pada keputusan diam. Setelah berani mengambil jalan berbeda, saya menjadi pendebat. Saya sengaja menggali agama dari sisi polemiknya, dan tampil di ruang-ruang diskusi, di sekolah, di komunitas, bahkan di lingkungan keluarga—tidak lagi sebagai anak penurut, tapi sebagai pemikir bebas.

Mungkin saat itu saya sedang berkata: “Kalau saya tak bisa diterima dengan ketaatan, maka biarlah saya diakui melalui perlawanan.”

Lucu rasanya, mengingat semua itu sekarang. Tapi dari situ saya belajar, bahwa keinginan untuk diterima bisa muncul dalam bentuk-bentuk yang tak terduga—termasuk lewat perdebatan dan kontroversi.

Luka Itu Nyata, Tapi Penyembuhan Lebih Penting

Setelah semua langkah itu saya ambil, saya tidak lantas merasa bebas sepenuhnya. People pleaser dalam diri saya tidak langsung hilang. Ia masih hidup dalam bentuk rasa bersalah, keinginan meminta maaf, bahkan hasrat untuk tetap menjelaskan mengapa saya mengambil jalan berbeda.

Namun seiring waktu, saya belajar satu hal penting: kalau saya terluka karena terlalu banyak menyesuaikan diri, maka penyembuhannya adalah belajar mencintai diri sendiri dengan jujur.

Menjadi diri sendiri bukan bentuk dosa. Itu adalah bentuk penghormatan terhadap hidup yang telah Tuhan titipkan. Saya bukan lagi anak yang hanya ingin diterima. Saya adalah manusia yang belajar menerima dirinya.

Refleksi: Luka yang Disadari Bisa Menjadi Titik Awal Pemulihan

Saya percaya: menyadari apa yang terjadi adalah langkah pertama untuk mengurangi dorongan menjadi people pleaser. Dan ketika saya bertemu orang-orang yang juga punya pengalaman masa lalu yang terluka, saya bisa melihatnya lebih dalam, dan tidak buru-buru menilai. Karena saya tahu rasanya.

Apa dan Bagaimana Terbentuknya People Pleaser?

Namun saya juga percaya, menyembuhkan luka batin bukan proses singkat. Kadang, itu pekerjaan seumur hidup. Tapi bukan berarti kita gagal, hanya karena belum selesai.

Selama kita terus menyadari dan belajar, selama kita terus memberi ruang untuk berdamai dengan diri sendiri, kita sedang menyembuhkan. Pelan-pelan, tapi pasti.

Posting Komentar