Mengapa Sebagian Laki-laki Sulit Meminta Maaf Kepada Istri?
Walau Salah, Benarkah Semua Laki-laki Enggan Meminta Maaf ke Istri?
Ini adalah fenomena yang sangat klasik dalam dinamika pernikahan, suami ogah minta maaf kepada istri, walau sudah jelas melakukan kesalahan. Tentu tidak semua laki-laki, namu sebagiannya enggan meminta maaf ke istri ketika melakukan kesalahan. Padahal minta maaf ibarat "rayuan" terhebat dan kata yang luar biasa bagi wanita.
Banyak istri merasa frustrasi karena bagi mereka, kata "maaf" adalah jembatan untuk pulih, sementara bagi banyak suami, kata tersebut terasa seperti "pengakuan kekalahan" atau ancaman terhadap harga diri.
Berdasarkan data psikologi perkembangan dan sosiologi, berikut adalah alasan mengapa suami sulit mengucap kata maaf meskipun mereka tahu mereka salah:
1. Budaya "Maskulinitas Rapuh" (Fragile Masculinity)
Sejak kecil, banyak laki-laki dididik untuk menjadi sosok yang kuat, kompeten, dan tidak boleh terlihat lemah. Dalam logika bawah sadar banyak pria, meminta maaf berarti mengakui kegagalan atau ketidakmampuan.
Maaf = Kehilangan Otoritas: Ada ketakutan jika mereka minta maaf, mereka kehilangan posisi sebagai pemimpin atau pelindung yang "selalu benar" di mata keluarga.
2. Perbedaan Makna Maaf (Pria vs Wanita)
Menurut pakar komunikasi seperti Deborah Tannen, pria dan wanita melihat permintaan maaf dengan kacamata berbeda:
Bagi Wanita: Maaf adalah alat untuk koneksi. Ini cara untuk memperbaiki hubungan dan menunjukkan empati.
Bagi Pria: Maaf sering dilihat sebagai status. Mengakui kesalahan berarti menempatkan diri pada posisi yang "lebih rendah" secara hierarki dari orang yang dimintai maaf.
3. Mekanisme "Perbaikan Non-Verbal"
Ini adalah poin yang paling sering menyebabkan salah paham. Data menunjukkan bahwa suami cenderung melakukan "Repair Attempts" (Upaya Perbaikan) lewat tindakan, bukan kata-kata.
Alih-alih bilang "Maaf ya sayang soal tadi pagi," suami mungkin akan pulang membawakan makanan kesukaan istri, membantu mencuci piring, atau tiba-tiba mengajak bicara hal lain seolah tidak terjadi apa-apa.
Logika Suami: "Saya sudah berbuat baik sekarang untuk menebus yang tadi, jadi masalahnya sudah impas, kan?"
Masalahnya: Istri merasa masalah belum selesai karena tidak ada validasi emosional lewat kata-kata.
4. Shame-Prone (Rasa Malu yang Mendalam)
Psikolog seperti Brené Brown menjelaskan bahwa pria sangat rentan terhadap rasa malu (shame). Saat seorang suami melakukan kesalahan, ia seringkali merasa sangat malu pada dirinya sendiri.
Karena tidak tahu cara mengolah rasa malu tersebut, ia melakukan defensif atau diam (stonewalling). Baginya, membicarakan kesalahan itu seperti menabur garam di atas luka egonya.
Bagaimana Mendudukkannya?
Jika kita menggunakan prinsip "mengalir" yang kita bahas sebelumnya, memaksakan suami untuk meminta maaf dengan cara yang persis seperti keinginan istri seringkali justru memicu konflik baru.
Solusinya adalah "Terjemahan":
Bagi Suami: Perlu belajar bahwa kata "maaf" tidak akan meruntuhkan maskulinitasnya, justru itu menunjukkan kekuatan karakter.
Bagi Istri: Perlu belajar membaca "bahasa maaf" suami yang berbentuk tindakan. Jika dia tiba-tiba membantu pekerjaan rumah setelah bertengkar, itu seringkali adalah cara dia mengatakan "maaf" tanpa suara.
Apakah menurut Anda, para suami, dalam kasus yang Anda amati, para suami ini memang tidak merasa bersalah, atau sebenarnya mereka merasa bersalah tapi hanya "gengsi" untuk mengucapkannya?
Bagaimana Jalan Keluarnya? Klik Di SINI

Posting Komentar
Karena saya percaya pengalaman Anda adalah berharga bagi keluarga lainnya.