Tokoh Nabal yang Bebal Figur Kekuasaan Suami Tanpa Peduli dengan Sang Istri

Table of Contents


Hidup di tengah budaya patriarki yang kuat memang memberikan tantangan tersendiri, di mana struktur kekuasaan sering kali membuat kerendahan hati (seperti meminta maaf) dianggap sebagai ancaman terhadap otoritas pria. Tapi juga dalam Kitab Suci khususnya Perjanjian Lama ditulis kisah ektrim bagaimana suami memiliki otoritas yang tinggi di mana istri hampir tidak memiliki kuasa untuk membantahnya.

Sosok Nabal: Ego yang Menghancurkan

Nama "Nabal" secara harfiah berarti "bebal" atau "bodoh". Alkitab menggambarkan dia sebagai orang yang yang bisa dimaknai kasar dan jahat kelakuannya. Sifat lainnya dari tokoh Nabal ini ia sangat kaya, namun sangat kikir dan tidak tahu berterima kasih. Sementara tokoh lain yang bersinggungan dengan Nabal adalah Daud dan anak buahnya telah melindungi ternak Nabal di padang gurun, namun saat Daud meminta bantuan makanan secara baik-baik, Nabal justru menghina Daud.

Ego Nabal membuatnya merasa "di atas" sehingga ia merasa tidak perlu menghormati orang lain (termasuk Daud yang saat itu adalah calon raja). Kebegalan Nabal hampir saja membawa kehancuran total bagi seluruh rumah tangganya karena Daud yang marah sudah bersiap untuk menyerang saat itu.

Sosok Abigail: Kebijaksanaan yang Memulihkan

Abigail digambarkan sebagai perempuan yang "bijak dan cantik". Ia adalah antitesis dari suaminya yang memiliki gambaran berikut:

Abigail berani Mengambil Tanggung Jawab: Tanpa sepengetahuan suaminya yang sedang mabuk dan egois, Abigail segera membawa perbekalan untuk menemui Daud.

Abigail memiliki kerendahan hati yang luar biasa. Meskipun Abigail tidak melakukan kesalahan apa pun, saat bertemu Daud, ia sujud menyembah dan meminta maaf atas nama suaminya. Ia berkata, "Biarlah kesalahan itu ditimpungkan kepadaku sendiri, ya tuanku" (1 Samuel 25:24).

Sosok Abigail mampu meredam kemarahan laki-laki dengan kata-kata: Abigail mengingatkan Daud agar jangan bertindak gegabah demi menjaga reputasi Daud di masa depan.

Kisah Abigail dan Nabal ini Sangat Relevan dengan Kekuasaan Sang Suami:

- Ego Suami vs Keselamatan Keluarga: Nabal adalah contoh ekstrem suami yang egonya menutupi akal sehatnya. Ia merasa tidak perlu minta maaf atau berterima kasih, yang akhirnya membawa maut bagi dirinya sendiri (ia meninggal karena serangan jantung/stroke setelah tahu apa yang terjadi).

- Kekuatan Minta Maaf: Abigail menunjukkan bahwa permintaan maaf yang tulus—meskipun ia sendiri tidak bersalah secara langsung, memiliki kekuatan untuk menghentikan pertumpahan darah. Daud yang tadinya ingin membantai seluruh keluarga Nabal, seketika luluh dan memuji Tuhan atas kebijaksanaan Abigail.

- Kepemimpinan yang Sesungguhnya: Dalam cerita ini, "kepala" rumah tangga secara administratif adalah Nabal, tapi "pemimpin" sejati yang menyelamatkan keluarga itu adalah Abigail melalui kerendahan hatinya.

Kisah ini bisa menjadi pelajaran keras bagi para suami: Menjadi "Kepala" yang bebal seperti Nabal hanya akan membawa kehancuran dan kebencian. Sebaliknya, memiliki hati yang luas untuk mengakui kesalahan dan berdamai (seperti Abigail) justru akan mendatangkan berkat dan perlindungan.

Daud akhirnya mengambil Abigail menjadi istrinya setelah Nabal wafat, menunjukkan bahwa karakter "bijak dan berani minta maaf" adalah karakter yang sangat dihormati oleh pria berjiwa besar.

Apakah cerita Abigail ini yang Anda maksud? Sangat menarik bagaimana Alkitab memberikan contoh bahwa terkadang, permintaan maaf adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan sesuatu yang hampir hancur.

Hal Penting Kehidupan Keluarga yang berhubungan dengan Minta Maaf

1. Re-interpretasi Kepemimpinan (Headship)

Kepemimpinan sejati dalam rumah tangga bukan tentang "siapa yang tidak pernah salah", melainkan tentang siapa yang berani mengambil tanggung jawab untuk memulihkan keadaan. Jika seorang suami adalah "kepala", maka ia adalah nakhoda yang bertanggung jawab memastikan semua penumpang (istri dan anak) merasa aman. Meminta maaf adalah alat navigasi utama untuk kembali ke jalur kedamaian.

2. Mengubah Gengsi menjadi Integritas

Dalam budaya patriarki, ego sering kali disalahpahami sebagai harga diri. Kita perlu mengedukasi bahwa:

- Gengsi adalah ketakutan akan penilaian orang lain.

 - Integritas adalah keberanian untuk jujur pada diri sendiri dan Tuhan.

Pria yang meminta maaf tidak sedang kehilangan "atribut" kelelakiannya; ia justru sedang menunjukkan atribut maskulinitas yang sehat, yaitu kekuatan untuk menguasai diri.

3. Maaf sebagai "Nutrisi" bagi Istri

Bagi istri, permintaan maaf suami bukan sekadar formalitas, melainkan validasi atas eksistensinya. Dalam konteks iman Anda, jika suami "mengasihi istri seperti diri sendiri", maka suami harus menyadari bahwa melukai perasaan istri tanpa meminta maaf adalah seperti melukai tubuhnya sendiri dan membiarkannya infeksi. Kata maaf adalah "obat" yang membuat istri bisa menjalankan perannya sebagai penolong dengan sukacita, bukan karena keterpaksaan.

4. Strategi "Mengalir" dalam Konflik

Kita tidak perlu melawan arus budaya yang ada secara frontal, tapi kita bisa "mengalirkan" nilai-nilai baru ke dalamnya.

-  Daripada menuntut perubahan besar secara instan, mulailah dengan membangun kesadaran akan efisiensi energi.

- Bahwa kebahagiaan rumah tangga jauh lebih murah harganya jika dibayar dengan satu kata maaf, daripada dibayar dengan hari-hari yang dingin, sunyi, dan penuh tekanan.

5. Belajar dari Abigail (Kebijaksanaan vs Kebebalan)

Kisah Nabal dan Abigail menjadi peringatan abadi: Kekasaran dan ego (Nabal) membawa maut dan kehancuran, sementara kerendahan hati dan keberanian untuk meminta maaf (Abigail) membawa pemulihan dan kehormatan.

Posting Komentar